Postur badannya tak terlalu tinggi alias tanggung, ramping dengan potongan rambut anak muda zaman sekarang. Kemeja lengan panjangnya berwarna putih dilipat hingga di atas siku tangannya. Tidak baru namun terlihat bersih dan rapi. Di pergelangan tangan kanannya melingkar seutas gelang entah dari bahan apa dengan motif bundar-bundar seperti tasbih. Sementara sebuah arloji pria juga terlihat menghiasi pergelangan tangan kirinya. Penampilannya sepintas terlihat seperti seorang salesman atau bahkan tak ubahnya seorang resepsionis.
Itulah gaya keseharian Edy Hariono dalam menapaki karirnya. Lelaki muda asal Desa Kedinding Lor, Kenjeran – Surabaya, saat saya temui siang itu (28/01/2017) tampak sibuk melayani tamunya. Cak Edy, demikian kawan-kawan kerjanya biasa memanggil, memang seorang penjaga. Namun pekerjaan yang disandang Edy ini bukan menjaga kantor atau hotel melainkan toilet. Jangan salah mengira (underestimate) dulu bro n sis, toilet yang dijaga Edy ini bukan sembarang toilet lho tapi toilet berkelas VIP.
Kalau Anda berkesempatan jalan-jalan ke Plaza Surabaya maka akan dengan mudah menemukan Edy yang sedang menjaga lapak kerjanya di lantai dasar mal kebanggaan warga Surabaya itu. Bujangan kelahiran 24 tahun silam itu sepertinya begitu mencintai pekerjaannya.
“Aku wis telung taun mas ngantor nang kene (saya sudah tiga tahun mas berkantor di sini, red),” cetusnya dengan sedikit berkelakar. Wah.. cukup lama ya, berarti dia betah bekerja di sana, begitu pikir saya.
Sekedar diketahui, bahwa Plaza Surabaya termasuk mal tertua di Surabaya. Sebelum dibangunnya mal-mal besar seperti kompleks Tunjungan Plaza, Pakuwon City Mall dan Royal Plaza, maka Plaza Surabaya sudah berdiri terlebih dulu. Lokasi gedung mal ini dulunya merupakan lokasi Rumah Sakit Simpang yang sudah ada saat Belanda menduduki Surabaya.
Plaza Surabaya berada di Jalan Pemuda, jantung Kota Surabaya. Tempatnya sangat strategis, setiap harinya ratusan bahkan ribuan orang berbondong-bondong mendatangi mal yang letaknya berdekatan dengan Monumen Kapal Selam (Monkasel) dan gedung World Trade Centre Surabaya itu. Bisa dibayangkan berapa banyak pengunjung mal yang mendatangi toilet Edy.
“Prei-an biasane rame wong mrene (liburan biasanya ramai orang ke sini, red)," ungkapnya di sela-sela melayani pengunjung toiletnya. Pada hari libur apalagi kalau long weekend yang bertepatan dengan hari libur nasional keagamaan, Plaza Surabaya biasanya ramai dikunjungi orang. Toilet yang dijaga Edy otomatis akan penuh sesak dengan para pengunjung mal.
“Sedinone kadang iso sampek 1000 wong sing mrene mas (seharinya kadang bisa sampai 1000 orang yang datang ke sini mas, red)," terangnya. Untuk 1 orang pengunjung, pihak pengelola toilet mengenakan ongkos seribu rupiah. Edy tak bekerja sendirian di toilet itu. Ada beberapa orang yang bekerja secara bergantian (sistem shift). Edy sendiri bekerja mulai jam 10 pagi sampai jam 5 sore setiap harinya. Toilet yang dijaga Edy dan teman-temannya termasuk eksklusif, kebersihannya selalu terjaga namun tarifnya termasuk murah untuk ukuran toilet berbayar.
“Sik nyelengi mas (masih menabung mas, red)” timpalnya penuh optimisme. Pekerjaan menjaga toilet sepintas dianggap orang rendahan. Kurang bergengsi dan penghasilannya kecil atau jauh dari layak. Padahal Edy sendiri merasa cocok melakoninya, bahkan ia mengaku bisa menabung dan punya cita-cita membeli rumah sendiri kelak kalau sudah berkeluarga.
Satu lagi kisah inspiratif tentang lika-liku laki-laki belia dalam meraih asa. Bahwa pekerjaan apapun yang ditekuni seseorang sama mulianya di mata Tuhan, yang penting halal dan membawa berkah bagi keluarga. Bahwa banyak jalan untuk bisa sukses dan itu sudah ditempuh oleh Edy meski hanya berprofesi sebagai penjaga toilet mal.