Baru beberapa langkah turun, seseorang berpakaian lengkap ala Tengger mencoba untuk meyakinkan saya bahwa Bromo aman bagi kunjungan wisatawan.
“Gak popo dik, nek wahoyo mesti ditutup ket mbiyen (tidak apa-apa, kalau berbahaya pasti ditutup sejak dulu, red)” ujar lelaki berbalut sarung dan penutup kepala khas Bromo. Pikir saya benar juga kata lelaki paruh baya itu, serta merta saya kembali ke atas untuk memuaskan diri, menyegarkan mata di puncak Bromo. Para wisatawan akan merasa aman dan nyaman saat berada di pinggir jurang karena pengelola wisata Gunung Bromo telah memasang pagar kokoh dari beton coran semen.
Pagar beton cor itu hanya terpasang di sebagian bibir kaldera, kalau sedang penuh dengan wisatawan maka harus lebih berhati-hati berjalan ke arah sana. Tidak perlu berdesak-desakan agar tidak jatuh terperosok. Saat berlangsung pelemparan sesaji ketika perayaan upacara yadnya kesadha (kasodo) biasanya di pinggir kaldera itu ada sebagian warga Suku Tengger yang memberanikan diri mempertaruhkan nyawa untuk memperebutkan bahan-bahan sesaji itu.
Menurut keyakinan mereka jika berhasil mendapatkan bahan-bahan sesaji yang berupa ternak dan hasil pertanian lainnya maka akan mendatangkan keberkahan dalam hidup orang itu. Sayangnya waktu saya mendatangi Bromo beberapa waktu yang lalu itu tidak sedang berlangsung ritual kasodo karena upacara keagamaan masyarakat Tengger itu diperkirakan baru berlangsung pada 20 atau 21 Juli 2016 mendatang. Meski demikian, ada pemandangan menarik lainnya saat saya dan sebagian wisatawan yang berada di pinggir kawah yang masih aktif itu, saya sempat melihat keberanian seorang pemuda asli Desa Ngadisari bernama Sugik (25 tahun) dalam mengais rezeki di pinggir jurang kawah.
Aksi sugik tak pelak mengundang perhatian para wisatawan yang berada di puncak Bromo. Pemuda berpostur tanggung lengkap dengan kain sarung yang membalut tubuhnya itu terlihat wira-wiri di pinggir jurang kawah. Sugik mempertaruhkan nyawanya untuk mengais rupiah dari para wisatawan yang mengapresiasi keberaniannya. Pada hari-hari tertentu saja seperti Sabtu, Minggu dan hari libur lainnya di mana Bromo banyak disambangi wisatawan, di hari itulah Sugik menunjukkan aksinya.
“Piro khasile sedino iki mas (berapa hasil seharian ini mas, red)” tanya saya dengan sedikit rasa penasaran. Sugik mengaku rupiah yang ia dapatkan dari aksinya itu tidak banyak. Meski nyawa taruhannya, ia tetap tegar dan sabar melakoninya.
“Kadang iso seket, kadang yo satus, gak mesti (kadang bisa 50 ribu, kadang juga 100 ribu, tidak tentu, red)” ungkap Sugik dengan polos. Kalau hari biasa Sugik memilih tidak mengais rezeki di kawah Bromo, saat itu ia berjualan makanan di lautan pasir. Kadang-kadang bila kelelahan ia memilih menemani sang istri tercinta berjualan sayur di pasar Ngadisari, Probolinggo - Jawa Timur.
Kebiasaan Sugik untuk mengais rupiah di pinggir jurang kawah Bromo terbilang unik sekaligus mengerikan. Sekali terpeleset maka nyawapun melayang. Mau dilarang, itu sudah pilihan hidupnya. Semoga Yang Maha Kuasa senantiasa menjaganya agar ia bisa berlama-lama menghibur wisatawan Bromo dengan aksinya yang mendebarkan hati itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI