[caption id="attachment_415273" align="aligncenter" width="500" caption="Mbak Ani dan jamunya"][/caption]
Setiap hari puluhan kilometer jalan di kawasan Kecamatan Driyorejo-Gresik ia susuri. Sambil menggendong jamu di punggungnya ia berjalan kaki dari rumah ke rumah untuk menawarkan jamu tradisional yang dibuatnya sendiri. Dia adalah Mbak Ani, penjual jamu gendong yang sudah puluhan tahun berjualan keliling di kawasan Driyorejo.
Perempuan kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah 35 tahun silam itu sejak masih muda sudah merantau ke Jawa Timur. Kini ia tinggal bersama suami dan kedua anaknya di Desa Karangloh, Driyorejo-Gresik.
“Di desa, saya sudah membantu orang tua berjualan jamu gendong” ungkap Mbak Ani mengenang masa kecilnya.
Mbak Ani mengaku keahlian meracik dan berjualan jamu tradisional gendongan itu ia dapatkan secara turun-temurun dari leluhurnya yang ada di Karanganyar, Jawa Tengah. Awalnya ia menempatkan jamu racikannya itu dalam botol gelas (kaca) namun lama-kelamaan seiring dengan bertambahnya usia kemudian botol-botol kaca itu ia ganti dengan botol plastik air mineral.
[caption id="attachment_415274" align="aligncenter" width="350" caption="Menggendong jamu keliling kawasan Driyorejo-Gresik"]
“Agar nggendongnya tidak terlalu berat mas” akunya kepada saya sambil sesekali menyeka keringatnya.
Namun soal kualitas bahan jamu tak pernah ia rubah sejak pertama kali berjualan. Ia meracik sendiri jamunya dengan menggunakan tanaman berkhasiat obat. Beberapa jamu yang dijajakan Mbak Ani diantaranya jamu kates (daun pepaya), kunir asem (kunyit asam), beras kencur, paitan, suruh (daun sirih) dan beberapa lagi.
Ia juga menawarkan jamu berkhasiat dalam kemasan sasetan yang secara khusus didatangkan dari Kroya, Cilacap-Jawa Tengah. Sambil berjualan jamu, iapun menjajakan makanan ringan yang dibungkusnya dalam plastik kecil.
Beberapa penjual jamu yang saya lihat menjajakan jamunya dengan menggunakan sepeda ontel, sepeda motor bahkan ada juga yang menggunakan gerobak dorong. Semua cara itu ditempuh penjualnya agar tidak terasa berat dan capek.
[caption id="attachment_415275" align="aligncenter" width="500" caption="Dengan telaten mendatangi pelanggannya"]
“Saya sudah biasa berjualan jamu gendong seperti ini mas” tutur Mbak Ani ketika saya tanya mengapa tidak menggunakan sepeda ontel atau gerobak dorong seperti penjual lainnya.
Perempuan yang satu ini memang patut diacungi jempol. Ia bekerja keras menjajakan jamunya tanpa mengenal lelah. Dalam sehari ia menjajakan jamu setiap pagi dan sore. Mbak Ani termasuk penjual jamu tradisional gendongan yang belakangan ini sudah jarang kita temukan.
Ia bukannya mengeluh kelelahan akibat berjualan jamu gendong setiap harinya, malahan badannya merasa bugar saja. Bukan lantaran meminum jamunya sendiri tapi karena kebiasaan berjalan kaki dan membawa beban botol-botol yang berisi jamu tradisional itu.
Berkat keuletan dan ketekunannya berjualan jamu gendong, Mbak Ani kini bisa menghidupi keluarganya. Suaminya sendiri hanyalah pekerja borongan yang hasilnya tak menentu. Kedua anaknya kini bisa mengenyam pendidikan yang lebih baik. Ia bercita-cita menyekolahkan kedua anaknya sampai ke jenjang perguruan tinggi.
Wah.. semangat Mbak Ani ini memang patut dicontoh oleh perempuan lain di berbagai penjuru Kota Gresik dan Indonesia pada umumnya. Jamu tradisional yang ia jajakan itu merupakan warisan leluhur yang harus tetap dijaga kelestariannya. Daya juangnya untuk hidup lebih baik tanpa bergantung pada suami jelas menunjukkan kalau ia sudah maju dan mandiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H