[caption id="attachment_408486" align="aligncenter" width="500" caption="Cungkup pusara Kencana Wungu"][/caption]
Usianya sudah lebih dari 70 tahun. Namun roman mukanya tampak cerah bersinar, nyaris tak berkerut sebagai tanda telah tua. Tubuhnya memang sudah rapuh namun nenek tua ini tetap bersemangat untuk meraih asa.
Ia mengaku tak pernah letih bekerja sebagai tukang sapu pusara junjungannya yakni Gusti Ratu Kencana Wungu yang dulu pernah menjadi ratu di Majapahit. Sang ratu kemudian wafat dan jenazahnya disempurnakan secara Islam.
Itulah Mbah Gimah, perempuan asli Desa Sidodadi-Troloyo-Trowulan yang sehari-harinya berprofesi sebagai tukang sapu pekuburan umum di belakang kompleks makam Tralaya (baca = Troloyo).
[caption id="attachment_408488" align="aligncenter" width="250" caption="Inilah Mbah Gimah itu"]
Makam Ratu Kencana Wungu berada kira-kira 30 meter di belakang kompleks makam Tralaya. Cungkupnya dicat berwarna ungu, warna yang anggun seperti namanya. Di depan cungkup berdiri gapura. Sementara pintu cungkup terbuat dari kayu jati berukir indah dipolitur berwarna coklat tua.
Saat mengunjungi pusara Kencana Wungu, cungkup makam beliau dalam keadaan terkunci. Juru pelihara (Jawa = kuncen) sedang tidak ada di tempat. Namun dari Mbah Gimahlah saya mendapatkan keterangan tentang bangunan cungkup berwarna ungu itu.
Di dalam cungkup terdapat dua makam yaitu makam Ratu Kencana Wungu dan Dewi Anjasmara. Keduanya merupakan istri Raden Damarwulan. Dikisahkan, setelah mengalahkan Minak Jinggo dari Kerajaan Blambangan kemudian Raden Damarwulan diangkat menjadi Raja Majapahit mendampingi Ratu Kencana Wungu. Sebelum memperistri sang ratu, Damarwulan terlebih dulu mengawini Dewi Anjasmara yang kemudian menjadi selirnya.
[caption id="attachment_408491" align="aligncenter" width="350" caption="Cungkup makam Kencana Wungu terlihat dari jauh"]
Terlepas dari benar-tidaknya beragam versi cerita seputar Damarwulan, Kencana Wungu dan Anjasmara, bagi saya justru yang tak kalah menariknya adalah kisah tentang Mbah Gimah itu sendiri.
“Sudah dua puluh tahun lebih saya jadi tukang sapu kuburan ini nak” ungkap Mbah Gimah dengan mata berkaca-kaca.
Melihat wajahnya, Mbah Gimah sepertinya ingin berkeluh-kesah pada saya. Tiba-tiba hati saya menjadi iba melihatnya.
Ia mengaku tidak sendirian bekerja sebagai tukang sapu di kuburan Desa Tralaya ini. Bersama temannya setiap hari ia bekerja bahu-membahu secara bergantian.
“Sebulan kami berdua menerima honor Rp. 300.000,-“ aku Mbah Gimah sambil mengelus dada.
[caption id="attachment_408494" align="aligncenter" width="350" caption="Telaten menekuni pekerjaan sebagai tukang sapu kuburan"]
Bayangkan saja diusianya yang sudah renta itu, Mbah Gimah masih saja telaten dan setia merawat pekuburan Tralaya khususnya halaman makam Kencana Wungu. Meski honornya jauh dari layak namun pekerjaan sebagai tukang sapu makam tetap saja dijalaninya selama lebih dari dua puluh tahun .
Mbah Gimah hanyalah potret perempuan tua biasa. Kisahnya mungkin tak semenarik dongeng tentang Kencana Wungu dan Damarwulan. Tapi bagaimana keadaan pekuburan Tralaya tanpa kehadiran Mbah Gimah? Adakah pengganti yang lebih setia dari Mbah Gimah? Sudah sepantasnya pihak yang berwenang memperhatikan nasib orang seperti Mbah Gimah ini.
[caption id="attachment_408498" align="aligncenter" width="350" caption="Gapura masuk ke cungkup makam Kencana Wungu"]
[caption id="attachment_408500" align="aligncenter" width="250" caption="Pintu masuk cungkup Kencana Wungu"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H