Ada-ada saja cara orang mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Coba bila Anda berjalan-jalan ke kawasan Kota Tua Jakarta, di trotoar Taman Fatahilah itu tampak banyak sekali pedagang kecil, sebagian orang lagi juga terlihat sedang mempertontonkan aksi kreatifnya kepada para pengunjung. Di antara para pedagang kecil itu, ada yang memajang makanan dan minuman di lapak dorongnya.
Ada juga yang meletakkan dagangan makanan atau minumannya di keranjang yang sudah disiapkan dari rumah. Para pedagang kaos dan suvenir juga tak mau ketinggalan untuk menggelar beraneka jenis dagangannya. Mereka tak membawa keranjang maupun lapak dorong melainkan memajang  dagangannya cukup dengan dialasi plastik kemudian menempatkannya di lantai trotoar.
Trotoar sepanjang Taman Fatahilah ternyata tak hanya penuh sesak oleh para pedagang kecil, para seniman jalanan juga tumpah-ruah di sana. Para pengunjung yang malas berjalan kaki bisa menyewa sepeda ontel untuk bisa berkeliling kota tua.
Kerennya lagi, sepeda ontelnya merupakan sepeda lama (kumbang) yang dicat berwarna-warni. Bahkan kalau ingin berandong-ria juga bisa lho. Dengan kuda yang gagah dan gerobak andong (bendi/dokar) yang dihiasi aneka ornamen tentu semakin mengundang minat pengunjung kota tua.
Belum lagi aksi kreatif para seniman kota tua. Namanya juga kota tua maka segala sesuatu yang kita temukan di sepanjang Taman Fatahilah itu berkonsep lama. Busana-busana yang dikenakan para seniman jalanan di sana juga menggambarkan gerak perjuangan tempo dulu. Para seniman kota tua tak hanya memeragakan dandanan ala Bung karno dan WR. Supratman namun ciri khas busana ala tuan dan nyonya kompeni Belanda juga mereka tampilkan dengan sangat apik.
Kostum dan dandanan ala pejuang tempo dulu juga menginspirasi para seniman kota tua. Tak sedikit dari mereka yang tertarik mengenakan baju pahlawan saat melawan para penjajah kala itu. Topi pejuang, bambu runcing dan badge merah putih melengkapi busana mereka hingga terlihat menggambarkan suasana tempo dulu.
Sementara itu jalan raya di sebelah Taman Fatahilah juga penuh sesak oleh arus lalu-lintas kendaraan bermotor. Para seniman kota tua seolah tak bergeming dengan hiruk-pikuknya lalu-lintas yang ada bahkan panasnya sengatan matahari siang itu sama sekali tak melunturkan semangatnya untuk menghibur para pengunjung kota tua.
Di antara sekian banyak seniman kreatif Kota Tua Jakarta, ada satu orang yang menggelitik perhatian saya. Ia berpenampilan layaknya orang Turki atau India seperti yang biasa kita saksikan di TV. Uniknya lagi, ia berpose duduk melayang sambil memegang tongkat. Pikir saya, sangat kreatif sekali seniman ini. Usut punya usut ternyata sang seniman sengaja berbusana dengan ukuran extra large atau bahkan lebih besar dari itu agar ia bisa dengan leluasa memberi ruang bagi rangkaian besi untuk tempat duduknya.
Saya dibuat penasaran dengan penampilan sang seniman yang cukup menghibur itu, tangan saya mencoba menyentuh rangkaian besi sebagai tempat duduknya. Belum sempat menyentuh, sang seniman sudah menepis tangan saya, khawatir kalau rahasianya terungkap.
Untuk bisa berpose duduk bersila sambil memegang tongkat sebenarnya perkara yang sangat sederhana. Namun bagi pengunjung yang kurang jeli hal itu dianggap unik, aneh sekaligus mengelabui. Seniman tadi duduk bersila dan mematung seolah-olah melayang padahal ada rangkaian besi yang tersambung mulai dari tongkat yang ia pegang lalu sambungan besi masuk ke dalam lubang lengan baju tangan kiri dan tersambung lagi sampai berakhir di tempat duduknya.
Dengan aksinya yang kreatif itu sang seniman mendapatkan rupiah seihlasnya dari para pengunjung yang menikmati penampilannya. Asyik dan menghibur kreasi seniman kota tua itu.