Lika-liku hidup anak manusia bak ferris wheel yang berputar. Kadang di atas, kadang pula di bawah. Tidak mungkin di atas terus atau sebaliknya di bawah terus.Â
Ada suka dan ada pula duka, keduanya bak energi "Yin-Yang" yang saling berinteraksi menemani perjalanan hidup manusia.Â
Adalah Mbak Ani, demikian warga kompleks perumahan kami biasa menyapa beliau. Bulan Ramadan dimana sebagian umat Islam berkewajiban menunaikan ibadah puasa, ternyata bukan menjadi penghalang bagi Mbak Ani untuk terus berjuang menjajakan jamu gendongnya.Â
Menurutnya, profesi berjualan jamu gendong itu telah dilakoninya sejak puluhan tahun silam.Â
Ketika ditanya, "apa enggak capek dan berat?" "Jelas capek lha om", balasnya sambil menyeka peluh yang mulai menetes di pelipis wajahnya akibat berjalan jauh dan beratnya beban keranjang jamu yang digendongnya.Â
Mbak Ani telah memilih memosisikan dirinya, "di depan bisa dan di belakangpun bisa", maksudnya ketika berada di depan beliau sanggup menjadi tiang ekonomi keluarga. Menggantikan peran suaminya dalam menjemput rizki.Â
Mbak Anipun bisa di belakang. Istilah Jawanya "konco ing wingking" (teman di belakang), perempuan yang hanya berkecimpung di urusan dapur dan rumah tangga saja.Â
Beliau tetap tidak menghilangkan kodratnya sebagai istri dan tanggung-jawabnya sebagai ibu dari anak-anak yang dilahirkannya.Â