Transmisi pandemi Covid-19 tak pelak melumpuhkan sendi-sendi perekonomian bangsa kita. Meski demikian, nun jauh di sana di sepanjang aliran Sungai Kemasan, Junwangi, Wonoayu-Sidoarjo (Jawa Timur) sekelompok orang seolah tak bergeming dengan carut-marut perekonomian akibat ganasnya serangan Covid-19 yang tak kunjung reda. Mereka itu adalah para pemburu Cacing Sutra.
Cacing sutra juga biasa dinamakan cacing rambut. Dinamakan cacing sutra atau cacing rambut karena badannya halus meski sebenarnya beruas-ruas dan ukurannya kecil.
Cacing sutra mempunyai saluran pencernaan berupa celah kecil mulai dari mulut sampai anus. Cacing sutra (Tubifex sp) ini hidup berkoloni bagian ekornya berada dipermukaan dan berfungsi sebagai alat bernafas dengan cara difusi langsung dari udara.
Seperti jenis cacing pada umumnya, cacing sutra merupakan organisme hermaprodit yaitu pada satu individu (organisme) terdapat dua alat kelamin dan berkembang-biak dengan cara bertelur.
Cacing sutra (Tubifex sp) dimanfaatkan orang sebagai makanan alami ikan hias yang mudah dicerna dengan kandungan nutrisi berupa protein kasar 64,47%, lemak kasar 17,63%, abu 7,84%, BETN 10,06%, dan kadar air 11,21% (Wijayanti, 2010).
BETN merupakan kependekan dari Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen yaitu bagian dari bahan makanan yang mengandung karbohidrat, gula dan pati. Selain itu, gerakan aktif Tubifex sp. dapat merangsang larva ikan untuk memakannya (Djarijah, 1995).
Asal tahu saja, taker merupakan kata dalam bahasa Jawa yang berarti takar. Satu taker dalam dunia bisnis cacing sutra menggunakan ukuran bekas kaleng cat berisi 5 kilogram.
Menurut Pur, sapaan akrab Purnomo, naik-turunnya harga tergantung musim. Pada bulan Desember sampai Februari biasanya harga cacing sutra melonjak cukup tinggi, bisa menyentuh angka 90 ribu pertakernya.