Pagi sekali Gemi (sapaan akrab Rugemi) sudah bangun. Tidak seperti kebiasaan sebelumnya, kalau ia bangun tidur selalu di atas matahari terbit. Entah malaikat apa yang mencoba menuntun hatinya sehingga hari ini ia benar-benar bisa bangun pagi.
Dengan masih terbungkus pakaian tidur yang tipis, gadis belia bertubuh semlohai itu mulai bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Digelungnya rambutnya yang panjang, hitam dan terurai itu. Â
Mukanya yang cantik dengan bibir merah merona perlahan-lahan dibasuhnya dengan air. Yap..rupanya ia sedang berwudhu. Sejurus kemudian ia menuju kamar tidurnya.Â
Dikenakannya baju mukenah pemberian sang ayah yang telah meninggalkannya sejak beberapa tahun lalu itu. Ibundanya yang sejak tadi mengamati secara diam-diam merasa heran sekaligus trenyuh penuh haru dengan tingkah polahnya. Â
"Gemi mau subuhan dulu bu" ujar Gemi dengan suara bergetar dan nada terbata-bata, sesaat ketika ibundanya memeluk dirinya dengan belaian lembut dan penuh kasih sayang. Â
Ibundanya juga merasa takjub melihat kejadian itu sampai-sampai perempuan setengah tua itu meneteskan air matanya. Tangisan tulus penuh haru dari seorang ibu yang telah melahirkan dan mengasuhnya selama ini.
Semenjak ditinggal kekasihnya menikah dengan perempuan lain, Gemi goncangan mental, stres dan memilih jalan pintas sebagai gadis jalang. Â
Untuk melampiaskan hasrat dan rasa kecewa beratnya itu ia harus gonta-ganti dengan lelaki sesuka hatinya. Ngalor-ngidul tak pernah tanpa lelaki. Ibunya selama ini tak sanggup menasehatinya. Pokoknya, Gemi menjadi gadis bejat yang kehilangan arah dan tuntunan.
Hari menjelang siang. Tampak dari kejauhan seorang gadis bertubuh binal dan sintal sedang berjalan menuju rumah Gemi. Â
"Kamu nggak kerja Gem" sapa Atun (sapaan akrab Pasiatun). "aku lagi nggak enak badan nih Tun" balas Gemi kepada teman seprofesinya itu.Â