Mohon tunggu...
Mawan Sidarta S.P.
Mawan Sidarta S.P. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lifelong learner, Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan.

Lulusan S1 Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember. Pernah bekerja di perusahaan eksploitasi kayu hutan (logging operation) di Sampit (Kalimantan Tengah) dan Jakarta, Projek Asian Development Bank (ADB) pendampingan petani karet di Kuala Kurun (Kalimantan Tengah), PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) Surabaya. Sekarang berwirausaha kecil-kecilan di rumah. E-mail : mawansidarta@yahoo.co.id atau mawansidarta01@gmail.com https://www.youtube.com/channel/UCW6t_nUm2OIfGuP8dfGDIAg https://www.instagram.com/mawansidarta https://www.facebook.com/mawan.sidarta https://twitter.com/MawanSidarta1

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Mendeteksi Polutan Sungai dan Limbah Nuklir dengan Eceng Gondok

8 Februari 2019   10:02 Diperbarui: 8 Februari 2019   17:18 1315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah sejak lama manusia  menunjukkan kepeduliannya terhadap sungai karena kala itu air sungai menjadi kebutuhan utama bagi kehidupannya. 

Raja-raja Dulu Sudah Sangat Peduli dengan Ketersediaan Air untuk Rakyatnya
Coba kita lihat kembali perjuangan manusia-manusia hebat Indonesia dalam membuatkan kanal (sungai) sebagai sumber air untuk rakyatnya. Seperti Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara (Bogor, Jawa Barat) yang telah bersusah payah membuatkan dua buah sungai untuk pengairan lahan bercocok-tanam atau kebutuhan rakyat lainnya seperti yang tertulis pada Prasasti Tugu (1).

Gerak perjuangan dan kiprah Raja Purnawarman kemudian diteruskan oleh raja-raja di Jawa Timur. Beberapa candi (petirtaan) dan prasasti juga menceritakan bagaimana pemimpin rakyat kala itu benar-benar memperjuangkan kebutuhan dasar akan air, antara lain perjuangan Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan (Kediri) dalam membebaskan rakyat Kamalagyan dari pajak. 

Oleh Airlangga, Kamalagyan dijadikan tanah perdikan, Airlangga juga membangun pertambakan dan lahan pertanian untuk rakyatnya. Kamalagyan kini berubah nama (mengalami morfologi kata menjadi kalagyan) dan akhirnya menjadi nama Desa Klagen, Tropodo-Krian-Sidoarjo seperti sekarang ini. Kisah Prabu Airlangga itu seperti tertulis dalam batu Prasasti Kamalagyan yang ditemukan di Desa Klagen.

Perjuangan Prabu Airlangga tak berhenti sampai di situ (seperti yang tertuang dalam Prasasti Kamalagyan) melainkan terus dikembangkan sampai ke kawasan Ngoro, Mojokerto, Jawa Timur. Di daerah itu beliau membangun sebuah candi yang lebih mirip gerbang masuk sebuah kawasan yang kemudian dikenal sebagai Situs (candi) Jedong. 

Nah di dalam kompleks Situs Jedong, pengunjung bisa menyaksikan bangunan yang dulunya merupakan sumber air dan airnya dialirkan melalui semacam saluran (sungai kecil / got) yang airnya bisa dimanfaatkan warga sekitarnya hingga saat ini. 

Dan masih banyak lagi raja-raja zaman dulu Yang sangat peduli pada kebutuhan air untuk rakyatnya seperti yang bisa kita saksikan pada Petirtaan Jalatunda (Seloliman, Mojokerto) dan Candi Sumber Tetek (Gempol, Pasuruan)(2)(3).

Pemimpin-pemimpin (raja) zaman dulu memang bukan hanya sakti mandraguna secara ilmu kanuragan (bela diri, red) namun juga arif bijaksana. Mereka benar-benar berjuang untuk rakyatnya.

Setelah diangkat menjadi penguasa tahta kerajaan yang dipikirkan bukan bagaimana memperkokoh kekuasaannya melainkan pertama kali bagaimana menyediakan kebutuhan dasar rakyatnya yang dalam hal ini sumber air untuk kehidupan sehari-hari. 

Bagaimana Menilai Kualitas Air Sungai?
Sungai atau sumber air pada zaman dulu dengan sekarang kondisinya sudah pasti sangat berbeda, meskipun masih ada sungai atau sumber air yang airnya bisa langsung diminum seperti sungai-sungai atau sumber air di daerah pegunungan.

Sungai zaman sekarang terutama yang ada di wilayah perkotaan kondisi airnya kotor meski belum tentu tercemar limbah (sampah) yang dianggap berbahaya (beracun). Orang awam seperti kita bisa dengan mudah mengenali (secara fisik) apakah sebuah sungai sudah tercemar antara lain dengan mengamati warna (kondisi) airnya seperti keruh atau berwarna putih atau warna lainnya sehingga tidak jernih lagi, berbusa, menghasilkan bau tak sedap, banyak terlihat sampah di permukaan air sungai tadi.   

Mengamati kualitas air sungai baik secara kimia maupun mikrobiologi jelas dibutuhkan ahli yang memang sangat berkompeten di bidang itu dan dikerjakan di laboratorium khusus atau menggunakan alat khusus.

Setidaknya ada beberapa parameter (umum) yang bisa digunakan untuk menilai kualitas air sungai. Dengan parameter itu diharapkan akan menambah informasi apakah sungai sudah dalam keadaan tercemar atau belum.

Di dekat perakaran eceng gondok, air sungai terlihat lebih jernih (dok.pri)
Di dekat perakaran eceng gondok, air sungai terlihat lebih jernih (dok.pri)
Beberapa parameter itu antara lain : jumlah zat padat terlarut atau istilah asingnya Total Dissolved Solid (TDS), tingkat keasaman atau pH (power of Hidrogen), Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO), Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD).

Jumlah maksimum (ambang batas) zat padat terlarut (TDS) biasanya ditentukan sebesar 1000 mg/liter atau menggunakan satuan lain yaitu : ppm (part per milions). 

Air murni pada keadaan normal memiliki pH = 7. Air yang ada di alam pada umumnya memiliki pH antara 6,5 -- 8,0. Di luar kisaran angka tadi dapat dipastikan kalau air telah tercemar. Air minum yang baik memiliki pH = 7,06 . Air dengan derajat keasaman rendah bersifat korosif dan tidak baik untuk kesehatan manusia.

Oksigen yang terlarut (DO) sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup organisme air sungai. Agar ikan dan organisme air sungai lainnya dapat hidup maka harus mengandung sedikitnya 5 ppm oksigen.

Kurangnya kadar oksigen dalam air disebabkan oleh bakteri, protozoa, cacing, dan pencemaran deterjen. Jika keberadaan oksigen menipis, maka banyak makhluk hidup dalam air mati (4). 

Semakin tinggi nilai DO maka air (sungai) akan semakin baik. Pada suhu 20 derajad selsius tingkat DO maksimal ialah 9 ppm. 

Sebagai ambang batas untuk parameter BOD yang ditentukan sebesar 30 mg/liter. Sedangkan COD yang ditentukan angkanya sebesar 80 mg/liter. Besarnya angka (standarisasi) BOD dan COD di tiap daerah boleh jadi tidak sama tergantung peraturan KLH atau kebijakan yang diterapkan di masing-masing daerah tadi.

Definisi (pengertian) BOD dan COD dalam dunia maya ternyata beragam. Ada yang menyebut BOD merupakan singkatan dari kata Biological Oxygen Demand. Ada pula yang menulis dari singkatan Biochemical Oxygen Demand. Berikut ini dikutipkan definisi sederhananya, antara BOD dan COD.

Biological Oxygen Demand (BOD) merupakan pendekatan umum yang menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan zat organik terlarut dan sebagian zat-zat organik yang tersuspensi di dalam air.

Besar kecilnya angka BOD dapat menunjukkan tingkat pencemaran air oleh zat organik. Semakin besar nilai BOD maka semakin banyak zat organik yang mencemari air dan makin sedikit jumlah oksigen yang terlarut (DO).

Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan (limbah) yang ada dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia baik yang dapat didegradasi (diuraikan) secara biologis maupun yang sukar didegradasi. Bahan buangan organik tadi akan dioksidasi oleh kalium bikromat yang digunakan sebagai sumber oksigen menjadi gas CO2 dan H2O serta sejumlah ion krom (5)(6)(7).

Eceng Gondok Mampu Mendeteksi Kualitas Air Sungai 

Eceng gondok (dok.pri)
Eceng gondok (dok.pri)
Kebanyakan dari kita tentu sudah mengenal tanaman air yang bernama Eceng Gondok. Tanaman bernama ilmiah Eichornia crassipes itu sebenarnya merupakan tanaman pengganggu (gulma) yang sering membuat jengkel banyak orang karena tanaman ini bisa tumbuh dan berkembang dengan mudahnya di atas permukaan sungai sehingga aliran air sungai menjadi tidak lancar dan memungkinkan terjadinya banjir terutama pada musim hujan seperti sekarang ini. 

Dikutip dari laman tempo.co, sebuah penelitian yang dilakukan oleh lembaga bernama Ecoton (Ecological Observation and Wetland Conservation) menyebutkan kalau menumpuknya eceng gondok di atas permukaan sungai menyebabkan persaingan kebutuhan oksigen antara ikan dan organisme sungai lainnya dengan eceng gondok.

Eceng gondok yang berjimbun dalam jumlah besar membutuhkan oksigen dalam jumlah besar pula sehingga jumlah oksigen dalam air yang dibutuhkan ikan dan organisme  sungai lainnya akan menurun drastis. Bila jumlah oksigen (DO) ternyata di bawah ambang batas maka bisa dipastikan ikan-ikan di sungai akan mati. 

Menumpuknya eceng gondok di permukaan sungai sering dijadikan alasan timbulnya banjir karena gulma itu juga menjadi perangkap bagi sampah atau kotoran lain yang mungkin saja terbawa oleh arus sungai.

Tak hanya itu cahaya matahari yang sangat berperan dalam proses fotosintesis tumbuhan sungai (fitoplankton dan mikroflora lainnya) akan terhalangi oleh tumpukan eceng gondok sehingga keseimbangan ekosistem sungai menjadi terganggu.

Dengan segala akibat yang ditimbulkan oleh menumpuknya eceng gondok kitapun tak boleh menutup mata kalau ternyata eceng gondok pun menghasilkan sejumlah manfaat bagi umat manusia. 

Pesatnya pertumbuhan eceng gondok menandakan kalau dalam air sungai terdapat banyak polutan (bahan pencemar) seperti residu pupuk kimia untuk pertanian, limbah pabrik, limbah rumah tangga (deterjen). 

Hampir setiap rumah tangga menggunakan deterjen, padahal limbah deterjen sangat sukar diuraikan oleh bakteri. Sehingga tetap aktif untuk jangka waktu yang lama. Penggunaan deterjen secara besar-besaran juga meningkatkan senyawa posfat dalam air sungai. Posfat inilah yang merangsang pertumbuhan eceng gondok (8). 

Para ahli biologi lingkungan mengatakan kalau eceng gondok merupakan bioindikator polusi air karena toleran terhadap logam berat dan polutan air lainnya. Bila diamati kondisi air sungai di dekat sistem perakaran eceng gondok akan tampah jernih.

Kemampuan akar serabutnya menyebabkan enceng gondok bisa menyerap logam-logam berat yang cukup berbahaya bagi manusia apabila dalam jumlah tertentu terdapat dalam air yang kita konsumsi. Seperti cadmium (Cd), merkurium (Hg), nikelium(Ni), atau Cromium(Cr), ferrum(Fe), cuprum(Cu), Zincum (Zn) (9).

Kemampuan eceng gondok sebagai bioindikator limbah ternyata tidak hanya untuk mendeteksi keberadaan bahan buangan dalam air sungai. Evi Setiawati, seorang peneliti dari UNDIP melaporkan kalau eceng gondok juga memiliki kelebihan sebagai bioindikator dalam penyebaran radionuklida dan depolutan pada limbah radioaktif (limbah nuklir).

Salah satu penelitian yang telah dilakukan adalah pemanfaatan eceng gondok sebagai kolektor uranium yang juga merupakan salah satu limbah dari reaktor nuklir.

Dengan kemampuan penyerapan yang besar tersebut maka eceng gondok dapat dipertimbangkan untuk digunakan sebagai biomonitor dan fitoremediator, yaitu tanaman yang mampu mengendalikan adanya polusi Cesium (Cs) di lingkungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun