Tak seperti hari-hari sebelumnya, suasana di persawahan desa kami pagi tadi tampak redup, setengah mendung tapi tidak turun hujan. Keadaan cuaca seperti itu justru menguntungkan para petani yang sedang mengolah lahannya. Biasanya pukul delapan atau sembilanan sinar matahari sudah begitu gaharnya menyengat kulit tubuh kami. Beberapa hari belakangan desa kami sudah mulai diguyur hujan. Sudah tidak kering kerontang dan berdebu lagi akibat kemarau panjang.
Sepasang petani, Pak dan Bu Muslimin tampak sedang sibuk mempersiapkan lubang tanam (Jawa = kowak-an) yang nantinya akan ditanami kunir, jagung dan lombok. Sudah menjadi kebiasaan Pak Muslim, begitu sapaan akrab Muslimin (54), saat memasuki musim hujan seperti sekarang ini ia pasti terlihat sibuk dengan lahannya. Maklumlah jenis lahannya memang sawah tadah hujan dimana sistem irigasinya benar-benar mengandalkan turunnya air hujan.
Kami mengobrol ngalor-ngidul dengan Pak Muslim tentang banyak hal termasuk menyinggung soal cara  bercocok tanam sederhana beberapa jenis tanaman ala petani kecil di desa kami. Saat sedang asik ngobrol dan bercengkrama dengan suami-istri pasangan petani itu tiba-tiba dari arah barat lahan yang digarap Pak Muslim muncul beberapa anak kecil berjalan mendekat ke arah kami.Â
Mereka terlihat sedang bercanda dan bernyanyi-nyanyi kecil, kurang jelas lagu apa yang dinyanyikannya. Tak hanya bernyanyi, beberapa anak kecil tadi juga berlompatan sambil memainkan sesuatu dalam kantung plastik.
"Opo iku le' (apa itu nak, red)" tanyaku dengan Bahasa Jawa Timuran. Salah satu dari ketiga anak laki-laki itu lalu membalas, "Iki bunglon Pak (ini bunglon pak, red)". Pikir saya, kok berani anak-anak tadi menangkap bunglon, sebab kabarnya hewan sejenis kadal atau tokek itu suka menggigit kalau salah memegangnya. Tapi anak-anak itu  dengan mudahnya memegang ekornya, tak terlihat rasa takut sedikitpun.
Mitos yang saya dengar saat masa kecil dulu, bunglon kalau sudah menggigit susah untuk dilepaskan. Kata orang-orang tua dulu, gigitan bunglon baru dilepaskan setelah menunggu Gludhuk Meduro (Petir Madura, red) berbunyi menggelegar. Aneh-aneh saja orang tua zaman dulu. Para orang tua kala itu kalau menakut-nakuti anak-anak mereka antara lain dengan cara seperti itu. Supaya mereka tidak seenaknya bermain-main dengan (mempermainkan) cicak, kadal, tokek dan juga bunglon.
Lagipula mana ada Gludhuk Meduro (Petir Madura) he..he.. . Petir atau halilintar bisa terjadi ya karena proses alam. Mungkin ada benarnya kalau bunglon suka menggigit (tangan) orang kalau tidak bisa menangkapnya sebab bunglon tadi merupakan predator yang suka memangsa serangga kecil atau hewan lainnya.
Keistimewaan bunglonÂ
Selain dianggap menakutkan karena suka menggigit, hewan bernama ilmiah Bronchocela jubata itu juga pandai menyembunyikan diri mengikuti warna benda tempat ia bertengger (menempel).Â
Misalnya seekor bunglon sedang bertengger pada cabang pohon yang berwarna coklat tua maka warna kulit bunglon akan mengikuti warna cabang pohon itu hingga warna tubuhnya menyerupai warna cabang pohon yang kecoklatan tadi.Â
Keistimewaan yang dimiliki bunglon itu disebut kamuflase. Dengan kamuflase itu dapat menghindarkan seekor bunglon dari musuh alami (predator) nya. Mungkin karena warna kulitnya yang bisa berubah-ubah itulah sehingga bunglon sering dijadikan mainan oleh anak-anak.