Setiap kota atau daerah hampir bisa dipastikan memiliki kawasan atau jejak sejarah peradaban masa lalu. Kawasan tadi oleh masyarakat luas kemudian dinamakan kota tua atau kampung lama. Sebagian warga asli Surabaya atau bahkan masyarakat kota lain mungkin hanya tahu kalau kota tuanya Surabaya cuma berada di sekitaran Jalan Tugu Pahlawan atau Jembatan Merah. Ternyata bila dijelajahi lebih lanjut, beberapa ratus meter dari Tugu Pahlawan Surabaya, tepatnya di kawasan Maspati juga terdapat perkampungan yang merupakan warisan sejarah masa lampau.
Bangunan rumah bekas Sekolah Ongko Loro (dok.pri)
Masyarakat setempat menyebutnya Kampung Lawas Maspati.
Lawas merupakan kata dalam Bahasa Jawa yang artinya lama atau kuno. Kampung Lawas Maspati merupakan sebuah pemukiman padat penduduk yang terletak di wilayah kecamatan Bubutan, berada tidak jauh dari kompleks Gedung Nasional Indonesia (GNI) di mana di tempat itu pula jenazah Dr. Sutomo, pahlawan Kebangkitan Nasional disemayamkan. Perkampungan itu terdiri dari banyak jalan kecil (
gang) namun hanya gang V dan VI saja yang masih menyimpan bangunan bersejarah.
Lantai Sekolah Ongko Loro yang masih terawat baik (dok.pri)
Konon kata Maspati berasal dari kata patih yang berarti wakil raja atau pejabat kerajaan (
kraton). Kata patih kemudian mengalami perubahan dari mulut ke mulut selama ratusan tahun sehingga terdengar Maspati seperti sekarang ini. Menurut catatan sejarah, dimana Surabaya kala itu masih menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di Jawa Tengah, kampung Maspati memang menjadi kediaman para patih kerajaan.
Bangunan rumah bekas markas tentara, dibangun pada tahun 1907
Roda waktu terus berputar, di kampung Maspati gang V hingga kini masih berdiri bangunan rumah yang pernah menjadi saksi bisu aksi heroik
Arek-arek Suroboyo dalam melawan Inggris dan sekutunya pada peristiwa 10 November 1945. Salah satunya adalah bangunan rumah berarsitektur menawan yang dibangun pada tahun 1907 itu kini didiami oleh keluarga M. Sumargono. Rumah kuno itu pernah dijadikan markas tentara pemuda-pemudi Surabaya khususnya kaum muda kampung Maspati dalam menyusun strategi perang.
Salah satu sudut kampung Maspati yang bersih dan penuh warna (dok.pri)
Masih di Maspati gang V, ada sebuah bangunan rumah yang dulu pernah dijadikan sekolah buta huruf,
Sekolah Ongko Loro (Sekolah Angka Dua, red) namanya. Atau orang-orang Belanda waktu itu menyebutnya dengan
Tweede Inlandsche School yaitu sekolah rakyat (SR) dengan masa pendidikan selama 3 tahun yang tersebar di pelosok desa.Â
Sekolah Ongko Loro menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantarnya, sekolah dasar itu didirikan dengan maksud untuk memberantas buta huruf dan kesulitan dalam berhitung. Selain dua bangunan rumah yang bersejarah, di Kampung Maspati gang V juga bisa Anda Temukan beberapa bangunan rumah kuno yang hingga kini masih tetap terawat dengan sangat baik.
Meski dikatakan perkampungan namun Maspati bukanlah kampung biasa yang terkesan kumuh dan kotor. Anda akan melihat sendiri betapa kampung Maspati tertata dengan rapi, hampir di setiap halaman rumah warga terlihat beraneka tanaman hias. Pot-pot tanamannya dicat warna-warni. Bukan hanya pot tanaman yang dicat, jalan kampung yang terbuat dari
paving stone itu juga dicat beraneka warna yang memberikan kesan semarak dan
dinamis.
Bila belum puas dengan kemolekan dan bangunan bersejarah di Maspati gang V, penjelajahan bisa dilanjutkan menuju Maspati gang VI, di gang ini terdapat bangunan rumah yang sudah rusak berat, belum begitu jelas status dan fungsi rumah itu namun seorang warga yang sempat berpapasan dengan saya di jalan kampung, menginformasikan kalau dulu rumah yang nyaris ambruk itu pernah dijadikan dapur umum dan markas palang merah bagi para pejuang yang terluka akibat perang 10 November 1945.Â
Bila diperhatikan secara seksama, bangunan rumah yang rusak berat itu bahan konstruksinya berbeda sekali dengan bangunan peninggalan Belanda. Temboknya sangat rapuh karena tanpa perekat semen, dibangun dengan hanya menggunakan batu bata yang disusun rapi dengan adonan dari gamping dan pasir saja. Hebatnya lagi, beberapa bangunan bersejarah itu masih tetap utuh hingga sekarang.
Di ujung gang VI, tak jauh dari pintu masuk dari arah Jalan Pasar Turi, pengunjung Kampung Lawas Maspati bisa menemukan kompleks makam keluarga Sawunggaling. Menurut catatan sejarah, Sawunggaling atau Joko Berek adalah seorang adipati Surabaya yang gigih berjuang melawan Belanda. Pusara beliau sendiri sebenarnya berada di kawasan Lakarsantri, Surabaya Barat. Kabarnya makam yang ada di Maspati gang VI itu merupakan makam kakeknya.
Telanjur rusak berat salah satu rumah kuno di Maspati gang VI (dok.pri)
Menikmati keindahan kampung dan kisah sejarah dibalik bangunan tua yang berdiri di kampung Maspati akan terasa asyik bila dilakukan sambil berjalan kaki menelusuri gang-gang kecil yang penuh warna itu karena memang pengunjung atau bahkan warga asli dilarang berkendara saat memasuki kampung yang kini menjadi
spot wisata sejarah di Kota Surabaya.
Lihat Travel Story Selengkapnya