Kawasan Jembatan Merah merupakan salah satu spot wisata menarik di Kota Surabaya pasalnya di kawasan ini pula banyak kita temukan gedung-gedung tua warisan kolonial Belanda dengan gaya arsitektur yang menawan.
Persis di depan Jembatan Merah Plaza (JMP) terdapat taman cantik bernama Taman Jayengrono. Nama Taman Jayengrono kabarnya nih diadopsi dari nama seorang tumenggung (adipati) pertama Surabaya, yakni Tumenggung Jayengrono.
Di seberang taman berdiri bangunan tua nan antik, Gedung Cerutu namanya. Menurut catatan sejarah di sekitar Taman Jayengrono ini seorang jenderal Inggris bernama Mallaby harus tewas tertembus peluru karena konfrontasi dengan arek-arek Surabaya pada rangkaian peristiwa 10 November 1945.
Masih di kawasan Jembatan Merah, di samping kanan JMP juga berdiri dengan megahnya gedung tua De Javasche Bank yang kini difungsikan sebagai Museum Bank Indonesia Surabaya. Di samping kanan Taman Jayengrono bisa kita temukan Gedung Internatio yang bersebelahan dengan terminal bus dan angkutan perkotaan.
Menyusuri kota tua Surabaya sepertinya akan lebih asyik kalau dilakukan dengan berjalan kaki. Kendaraan bisa kita parkir di halaman khusus parkir JMP, melelahkan sekaligus asyik, mengingat gedung-gedung tua itu letaknya saling berdekatan.
Belum puas dengan gaya arsitektur gedung-gedung tua di kawasan Jembatan Merah, saya melanjutkan perjalanan menuju Pasar Pabean Surabaya.
Jarak dari Taman Jayengrono tidak terlalu jauh, sekitar 500 meter saja. Pasar Pabean dikenal sebagai pasar tradisional tertua yang sudah ada saat Belanda bercokol di Surabaya. Berdiri pada tahun 1849 dan pada tahun 1930 direnovasi kembali, perbaikan terus dilakukan sampai bentuknya tampak seperti sekarang ini. Pemerintah Surabaya menetapkan pasar yang lokasinya tepat berada di Jalan Pabean Cantikan itu sebagai bangunan cagar budaya yang dilindungi undang-undang.
Sampai sekarang Pasar Pabean masih menjadi tujuan warga Surabaya dan sekitarnya dalam mengulak bahan-bahan makanan atau kebutuhan sehari-hari dalam jumlah besar. Keberadaannya tak tergantikan oleh merebaknya pasar-pasar induk modern.
Dulu, almarhum ibu atau saudara kalau ingin berburu ikan atau kepiting dalam jumlah besar dan murah cukup berbelanja di Pasar Pabean itu. Selisih harganya cukup tinggi bila dibandingkan dengan pasar-pasar lainnya. Sayangnya saya hanya menyempatkan diri mengunjungi los (stan/lapak) bumbu dan rempah-rempah, sehingga belum bisa melihat langsung ramainya orang berbelanja ikan-ikan atau hasil tangkapan laut lainnya.
Nah di stan bumbu itulah pengunjung Pasar Pabean bisa berbelanja bawang merah (brambang), bawang bombay, bawang putih dan lombok dalam jumlah besar. Sebagai traveler apalagi sedang terlihat membawa kamera tentu menimbulkan pro dan kontra bagi para pedagang di sana. Ada pedagang yang dengan ikhlas bersedia difoto, ada pula yang cuek, kurang berkenan bahkan menolak mentah-mentah dengan nada marah, pedagang tadi akhirnya menolak untuk difoto lapaknya. Lucunya lagi, ada juga seorang pedagang bumbu yang menawarkan diri dan bersedia difoto tapi dengan imbalan sejumlah uang.