Di tengah maraknya buah-buahan impor sebagian orang tak terkecuali saya, masih menaruh perhatian (peduli) kepada buah-buahan lokal apalagi yang tergolong langka. Meski kepedulian itu hanya sebatas “kangen” untuk menikmati kembali sensasi rasanya toh masih mending ketimbang tidak peduli sama sekali he..he.. .
Buah-buahan lokal nan langka seperti kemundung, ketapi, kinco (kawista), juwet dan kenitu sudah mulai jarang kita temukan. Beberapa puluh tahun yang lalu, saat kami masih duduk di bangku SD, buah-buahan langka itu dengan mudah kami temukan.
Penjual makanan di kantin sekolah kala itu belum sebanyak seperti sekarang ini. Bahkan sekolah kami belum ada kantinnya, penjual makanan biasanya dilakukan oleh warga desa. Tidak banyak jenis makanan yang dijual untuk siswa sekolah, paling hanya kerupuk upil lengkap dengan petisnya, kerang kulit yang ukurannya kecil-kecil, arbanat, es cao dan beberapa buah langka seperti rukem, kemundung juga kenitu.
Seiring dengan perjalanan sang waktu, buah-buahan potensi lokal seperti kenitu, juwet dan buah-buahan langka lainnya sudah jarang kita temukan di pasar atau lapak pedagang buah.
Pernah suatu ketika saat melintas di kawasan Wiyung - Surabaya, saya menemukan seorang pedagang dengan membawa ronjot (keranjang) bambu yang ditempatkan di bagian belakang sepeda motornya. Ronjot berukuran cukup besar itu penuh dengan buah kenitu. Wah saya kangen berat dengan buah yang satu itu. Sudah lama sekali saya tidak merasakan manis-legitnya daging buah kenitu itu.
Sang pedagang yang bernama Diran (49 tahun) mengaku sengaja mendatangkan buah yang daging buahnya sedikit bergetah dan berkulit hijau halus itu langsung dari pulau garam, Madura.
Kenitu atau ada yang menyebutnya kernitu bahkan ada pula yang menyebutnya genitu itu mungkin bagi sebagian orang yang belum terbiasa mengonsumsinya akan terasa njelehi (menjijikkan, red) karena kandungan getahnya muncul saat kita membelah buahnya. Dalam daging buah juga kita temukan biji berwarna hitam menyerupai biji buah sawo.
Buah kenitu yang sudah cukup matang, itu terlihat dari permukaan buah yang lunak (gembuk /empuk) dan kulit buah berwarna hijau kecoklatan akan menghasilkan daging buah yang rasanya manis. Sebagian orang mencampurkan daging buah kenitu itu ke dalam minuman es sebagai alternatif pengganti buah kelapa muda (degan) atau belewah.
Meski tergolong langka buah yang memiliki istilah ilmiah Chrysophyllum cainito itu harga jualnya masih relatif mahal. Pak Diran sendiri menjualnya secara eceran dengan harga 15 ribu perkilonya. Apa mungkin karena sudah sangat jarang ditemukan di pasaran sehingga harga jualnya pun cukup mahal.
Tak banyak masyarakat tani yang berminat membudidayakan kenitu atau buah langka lainnya mungkin karena prospek secara ekonomi kurang menjanjikan selain itu reproduksi (perbanyakan) dan teknik budidaya tanaman langka itu sulit untuk dilakukan.
Selama ini sebagian orang hanya memetik buahnya saja yang berasal dari pohon-pohon yang tumbuh dengan sendirinya (liar) dan belum tergerak untuk memperbanyak bibitnya atau bahkan mengembangkan teknik budidaya yang efektif.