Mohon tunggu...
Mawan Sidarta S.P.
Mawan Sidarta S.P. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lifelong learner, Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan.

Lulusan S1 Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember. Pernah bekerja di perusahaan eksploitasi kayu hutan (logging operation) di Sampit (Kalimantan Tengah) dan Jakarta, Projek Asian Development Bank (ADB) pendampingan petani karet di Kuala Kurun (Kalimantan Tengah), PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) Surabaya. Sekarang berwirausaha kecil-kecilan di rumah. E-mail : mawansidarta@yahoo.co.id atau mawansidarta01@gmail.com https://www.youtube.com/channel/UCW6t_nUm2OIfGuP8dfGDIAg https://www.instagram.com/mawansidarta https://www.facebook.com/mawan.sidarta https://twitter.com/MawanSidarta1

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kakek Tua yang Hidup dari Kamboja Kuburan

20 Desember 2016   11:29 Diperbarui: 20 Desember 2016   19:33 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mbah Darmo di pekuburan Lambangan, Sidoarjo (dok.pri)

Indonesia merupakan negara yang dikagumi bangsa mana pun di dunia ini karena potensi kekayaan maupun pesona alamnya yang memukau. Sayangnya di tengah-tengah sebutan Indonesia yang “kaya raya” atau istilah Jawanya “gemah ripah loh jinawi” itu masih saja banyak kita temukan kelompok-kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah atau prasejahtera. Nah, di antara kelompok masyarakat berpenghasilan rendah itu juga tak sedikit yang berasal dari kelompok umur tua renta (70 tahun ke atas).

Cerita atau kisah perjuangan seorang kakek yang tua renta dalam menghidupi diri atau bahkan keluarganya selalu menarik perhatian banyak orang. Ceritanya menjadi menarik bukan saja karena keprihatinan atau kisah yang memilukan dari sang kakek dalam mengais rezeki untuk keluarga tapi juga daya juang sang kakek yang secara fisik sebenarnya sudah lemah tak berdaya namun tetap saja bersemangat mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

Catatan ini digali dari hasil perbincangan dengan seorang kakek tua, pemburu bunga kamboja makam yang saya temui saat menziarahi pusara ibunda kami. Sang kakek bernama Mbah Darmo (82 tahun) asal Desa lambangan, Wonoayu, Sidoarjo, Jawa Timur.

Semenjak ditinggal sang istri tercinta meninggalkan dunia yang fana ini untuk selamanya sejak 8 tahun silam itu, hidup sang kakek menjadi terlunta-lunta alias kurang terurus. Semua anak dan cucunya berada di luar kota dan mencari penghidupan sendiri-sendiri.

“Anak-putuku podo golek pangan dewe-dewe (anak-cucu saya mencari makan sendiri-sendiri, red),” keluhnya sambil memunguti bunga kamboja yang berguguran di area kuburan warga Lambangan, Wonoayu, Sidoarjo. Sang kakek mengaku sering sakit-sakitan belakangan ini. Tetangga terdekatlah yang rajin membopongnya ke puskesmas di desanya.

Rumah tinggalnya berada agak jauh dari pekuburan Lambangan. Kadang ia memaksakan diri berjalan tertatih-tatih karena kondisi badannya masih belum pulih dari sakitnya namun tetap bersemangat mendatangi pekuburan untuk mengumpulkan kuntum demi kuntum bunga kamboja itu.

“Timbangane gak ono sing digawe mangan nak, sak kilo regane limang ewu (daripada gak ada yang dibuat makan, sekilo harganya lima ribu, red),” ungkapnya dengan suara gemetar. Bunga kamboja kuburan kering yang berhasil dikumpulkan sang kakek kemudian dijual kepada pengepul dengan harga 5 ribu rupiah per kilonya. Selanjutnya pengepul itu menyetorkan kembali bunga kamboja tadi kepada pabrik untuk diproses menjadi bahan minyak wangi (parfum).

Bisa kita bayangkan, untuk bisa mendapatkan sekilo bunga kamboja kuburan yang kering saja sang kakek harus mengumpulkan sedemikian banyak kuntum bunga. Dalam sehari Mbah Darmo sedikitnya bisa mengumpulkan sebanyak 1 kilogram bunga kamboja kering dan bila dijual hasilnya tentu tak sepadan dengan tenaga untuk memunguti bunga kamboja tadi. Meski kurang layak hasilnya, anehnya kebiasaan berburu bunga kamboja kuburan itu tetap saja ditekuninya sampai saat ini.

Untuk makan sendiri saja mungkin nggak cukup bagi Mbah Darmo kalau hanya mengandalkan berburu kamboja kuburan. Ndilalah ada saja rezeki dari Allah, entah dari tetangga, pemerintah desa, atau dari pintu-pintu lainnya akibat dari doa yang dipanjatkan dan ikhtiar yang telah dilakukannya selama ini.

Kisah Mbah Darmo yang tua renta, sakit-sakitan dan jauh dari sanak-keluarga namun tetap bersemangat mengais rezeki itu boleh jadi dialami oleh orang lain di berbagai penjuru dunia ini. Mungkin kita menjadi iba sekaligus mengelus dada setelah mendengar kisahnya atau melihat langsung kesehariannya.

Namun, daya juangnya yang tak pernah menyerah oleh usia dan kondisi badannya yang lemah tak berdaya akan menjadi inspirasi berharga bagi kita semua. Bahwa sesederhana apa pun perikehidupan kita tetap saja memerlukan perjuangan untuk menggapainya sampai ajal menjemput.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun