Sarana penunjang yang berupa perpustakaan dan laboratorium canggih di sekolah/kampus memang sangat diperlukan agar para lulusannya berkualitas. Entah mengapa setiap ada masalah dengan sistem pendidikan kita, guru atau tenaga pengajar selalu menjadi pihak yang sering mendapat sorotan.
Tak bisa dipungkiri kalau profesi guru masa kini lebih berperan sebagai tenaga pengajar daripada tenaga pendidik. Guru atau tenaga pengajar dewasa ini dari segi keahlian menyampaikan materi pelajaran boleh dibilang sudah mumpuni, tidak disangsikan lagi kemampuannya. Mereka menempuh jenjang pendidikan sampai ke universitas-universitas terkemuka di luar negeri. Namun sebagai pendidik (maaf) masih perlu dipertanyakan kemampuannya.
Mendidik dan mengajar jelas tidak sama. Mengajar lebih kepada penyampaian materi pelajaran semata namun bila mendidik selain mengajar juga melibatkan sikap moral. Pada proses mengajar, sang guru lebih dituntut untuk menyelesaikan materi pelajaran sesuai target. Pada proses mendidik, guru tak hanya menyampaikan materi pelajaran sesuai target yang ditetapkan namun juga ada unsur keteladanan dan ketelatenan dari sang guru tadi.
Guru-guru jaman dulu umumnya lebih telaten dan sabar dalam memberikan bimbingan (penyuluhan) kepada murid-muridnya. Murid yang paling sulit mengikuti pelajaran di kelas karena memang kemampuan berpikirnya rendah (bodoh) atau karena nakal tidak malah dicemooh atau dimarahi, justru sang gurulah yang harus membimbingnya hingga murid tadi bisa mengikuti pelajaran seperti siswa lainnya. Makanya ada yang berpendapat kalau tolak ukur keberhasilan guru tergantung seberapa besar kemampuannya mendidik murid-murid yang sulit mengikuti pelajaran bukan pada murid-murid yang memang sudah pintar.
Seiring dengan perkembangan jaman dan semakin majunya ilmu dan teknologi di muka bumi ini, konsep pendidikan yang ada di negara kita pasti juga mengalami perkembangan (dinamika). Gaya pendidikan yang dulu dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara yang terkenal dengan spirit Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi teladan), Ing madyo mangun karso (di tengah membangkitkan kehendak), dan Tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan) mungkin saja memudar belakangan ini.
Siswa didikan guru di masa Ki Hadjar Dewantara dengan didikan guru-guru sekarang jelas tidak sama. Itu terlihat saat mereka sudah terjun ke tengah-tengah masyarakat. Mungkin murid-murid sekarang lebih tangguh dalam soal iptek (ilmu dan teknologi) karena tertular guru-gurunya yang juga piawai dalam soal iptek itu. Guru-guru dengan spirit Ki Hadjar Dewantara akan melahirkan murid-murid yang kurang lebih juga mewarisi spirit bapak pendidikan Indonesia itu.
Konsep pendidikan yang dikembangkan di negara kita salah satunya ditentukan oleh keberadaan para pendidik yang masih memegang teguh ajaran Ki Hadjar Dewantara itu. Mencari para pendidik yang ideal memang gampang-gampang susah bahkan mungkin nyaris tak ada. Menetapkan seorang pendidik (guru/tenaga pengajar/dosen) sebagai pendidik yang ideal tentu harus memenuhi segudang kriteria dan itu sangat sulit dicapai oleh seorang guru biasa.
Coba saja kita tetapkan kriteria-kriteria untuk bisa menjadi pendidik yang ideal, jika laki-laki harus berwajah ganteng dan kalau perempuan berwajah cantik (good looking). Ahli dibidangnya (kapabel), berkelakuan dan bermoral baik, taat beribadah, jenius, tidak merokok, memiliki cara mengajar yang baik dan masih banyak kriteria lainnya.
Pendidik ideal itu dambaan setiap murid. Namun mencari yang ideal jelas sulit apalagi di era modern seperti sekarang ini dimana banyak manusia mengalami degradasi moral. Setidaknya para pendidik kita masih bersemangat mengembangkan ajaran Ki Hadjar Dewantara, itu sudah lumayan bagus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H