Sayang bila jauh-jauh datang ke Bromo cuma sekejab di Penanjakan. Kami buka mata lebar-lebar untuk menikmati pesona alam di sana, kami hirup dalam-dalam udara segar Penanjakan seraya berbisik dalam hati, “makasih Ya Rabb, atas ijinMu kami semua bisa berada di sini untuk menikmati karuniaMu”.
Dari kejauhan Bromo terlihat masih mengepulkan asap putih. Kepulan asap yang membumbung tinggi ke angkasa itu menandakan kalau Bromo merupakan gunung berapi yang masih aktif. Bila tanpa bumbungan asap tebal dari tingginya puncak Penanjakan akan terlihat secara jelas Gunung Bromo, Batok, Widodaren dan Semeru. Sayangnya pagi itu Gunung Widodaren dan Semeru yang angkuh terhalang oleh asap tebal Bromo. Tak masalah pikir kami, toh tidak mengurangi esensi menikmati sebuah petualangan di Bromo.
Petualangan di Bromo terasa semakin menarik karena ditemani gadis-gadis belia nan cantik personil PHP Adventure. Para gadis yang rata-rata sudah berpengalaman dalam dunia pendakian itu tercatat sebagai mahasiswa di salah satu universitas kenamaan di Kota Gresik. Mereka tidak hanya pintar mendaki dan kuliah tapi juga sudah bekerja. Jadi biaya traveling bukan minta-minta lagi ke para ortu mereka tapi melalui koceknya sendiri.
Pagi semakin terang, saya dan rekan-rekan PHP Adventure masih tak mau beranjak dari Penanjakan. Sementara itu penjual rangkaian bunga edelweis masih terlihat lalu-lalang, tak bosan-bosannya menawarkan barangnya kepada para wisatawan yang masih bertahan di puncak Penanjakan. Para penjual bunga edelweis umumnya berasal dari Suku Tengger. Kata orang, Suku Tengger merupakan keturunan masyarakat Majapahit.
Menjelang runtuhnya Majapahit dan pengaruh Islam meluas, sebagian masyarakat kerajaan kala itu mengungsikan diri ke lereng-lereng gunung di kawasan yang sekarang bernama Bromo-Tengger-Semeru itu. Sebagian lagi masyarakat Majapahit meninggalkan Jawa Timur dan akhirnya menetap di Pulau Bali serta beranak-pinak hingga sekarang ini. Masyarakat Tengger dari segi bahasa ya tak ubahnya masyarakat Jawa Timur pada umumnya. Mereka berbahasa Jawa Timuran biasa (ngoko) tapi juga bisa berbahasa kromo inggil (kromo halus).
Berjubelnya jumlah wisatawan di kawasan Penanjakan tak pelak meninggalkan sampah yang tak sedikit. Dibutuhkan kesadaran diri yang tinggi untuk tidak membuang sampah sembarangan. Bungkus makanan atau makanan yang tersisa tak sepantasnya dibuang secara serampangan. Pengelola objek wisata Bromo telah menyediakan tempat sampah khusus di lokasi puncak Penanjakan.
Uniknya, tempat sampah yang disediakan itu tidak seperti tempat sampah pada umumnya yang terbuat dari bekas ban luar, drum bekas oli atau drum plastik melainkan dari bahan semen yang dibentuk menyerupai bangunan rumah beratap seperti kuil (kelenteng) tapi bernuansa Tengger (Hinduisme). Tempat sampah unik itu oleh penjaja bunga edelweis dimanfaatkan untuk memajang dagangannya. Tak ada yang tak menarik di puncak Penanjakan itu bahkan tempat sampahpun terlihat unik, turut mempercantik view point Penanjakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H