Mohon tunggu...
Mawan Sidarta S.P.
Mawan Sidarta S.P. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lifelong learner, Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan.

Lulusan S1 Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember. Pernah bekerja di perusahaan eksploitasi kayu hutan (logging operation) di Sampit (Kalimantan Tengah) dan Jakarta, Projek Asian Development Bank (ADB) pendampingan petani karet di Kuala Kurun (Kalimantan Tengah), PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) Surabaya. Sekarang berwirausaha kecil-kecilan di rumah. E-mail : mawansidarta@yahoo.co.id atau mawansidarta01@gmail.com https://www.youtube.com/channel/UCW6t_nUm2OIfGuP8dfGDIAg https://www.instagram.com/mawansidarta https://www.facebook.com/mawan.sidarta https://twitter.com/MawanSidarta1

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Semanggi Suroboyo, Kuliner Unik yang Mulai Langka

1 Mei 2016   12:27 Diperbarui: 14 Agustus 2016   07:33 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mencicipi sedapnya pecel Semanggi Suroboyo mungkin sudah biasa bagi kebanyakan orang tapi bila berkesempatan mengintip cara pembuatannya secara langsung di rumah penjualnya tentu merupakan nilai lebih dan pastinya menjadi pengalaman yang mengesankan. Meski makanan sederhana itu kini jarang kita temukan dalam keseharian, sebagian penjualnya masih bisa bertahan hidup dengan menjajakan semanggi. 
Para penjual semanggi itu kini masih bisa kita temukan di kawasan Sememi, Benowo – Surabaya.Budhe Ningsih (63 tahun), salah seorang penjual semanggi asal Benowo yang biasa mangkal di Taman Flora (Kebun Bibit) Ngagel, Surabaya. Ia hampir setiap hari berkeliling Kota Surabaya menjajakan semanggi. Khusus pada hari-hari libur ia bersama beberapa teman sekampungnya berjualan di objek-objek wisata penting di Surabaya.

Asal tahu saja, para penjual semanggi dari Benowo itu biasanya kalau menjajakan dagangannya bersama teman-temannya. Mereka keluar dari desanya sekaligus 7 sampai 8 orang kemudian berjalan bersama dan beriringan. Ketika sampai di tengah Kota Surabaya, mereka berpencar dengan tujuan masing-masing, sebelum maghrib mereka sudah tiba kembali ke rumah masing-masing. 

Para penjual semanggi yang sudah nggak kuat berjalan jauh biasanya pulang-pergi dari Kota Surabaya menggunakan angkutan kota. Tapi bila ada sepeda motor di rumah, suami atau sanak keluarganya kadang ikut mengantar sampai ke Kota Surabaya. Sebenarnya Budhe Ningsih kurang berkenan saat saya mendatangi kediamannya. Ia bahkan nggak mau kalau saya memotret tempat tinggalnya.

Wis ora usah motret-motret omahku dik (sudah nggak perlu memotret rumah saya dik, red),” ujar Budhe Ningsih melarang.

Saya pun menghargai permintaannya. Namun saya memohon agar diijinkan memotret dedaunan semanggi sebelum dijadikan pecel dan menggali informasi tentang semanggi darinya. Perempuan tua bercucu 7 itu akhirnya mengijinkan saya.

Budhe bercerita kalau dulu di jaman orang tua atau nenek moyangnya, pecel semanggi disajikan lebih lengkap.  

Biyen jaman wong tuwoku dodolan semanggi luwih komplit dik (dulu jaman orang tua saya berjualan semanggi lebih lengkap dik)," terang Budhe Ningsih mengawali ceritanya.

Ia membandingkan dengan pecel semanggi yang dijual kebanyakan orang pada jaman sekarang. Selain daun semanggi, sayur pelengkapnya cuma kangkung, kecambah (Jawa = cukulan) dan kerupuk puli. Jaman dulu pelengkapnya bisa berupa kembang turi dan tempe. Bumbu semanggi berwarna gelap karena pengaruh petis yang ditambahkan ke dalam adonan bumbu.

Daun semanggi sebelum disajikan setelah dicuci bersih biasanya direbus sebentar saja karena strukturnya lebih tipis dan halus, berbeda dengan kangkung atau daun ketela rambat. Sayur semanggi dan pelengkapnya ditempatkan pada wadah dari daun pisang (Jawa = pincuk) lalu disiram dengan bumbunya yang khas itu serta tidak lupa kerupuk puli yang kriuk-kriuk menjadikan Semanggi Suroboyo semakin menggugah selera. Untuk sepincuk cuma dihargai 6 ribu rupiah.

Budhe Ningsih saat dipotret

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun