Mohon tunggu...
Mawan Sidarta S.P.
Mawan Sidarta S.P. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lifelong learner, Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan.

Lulusan S1 Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember. Pernah bekerja di perusahaan eksploitasi kayu hutan (logging operation) di Sampit (Kalimantan Tengah) dan Jakarta, Projek Asian Development Bank (ADB) pendampingan petani karet di Kuala Kurun (Kalimantan Tengah), PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) Surabaya. Sekarang berwirausaha kecil-kecilan di rumah. E-mail : mawansidarta@yahoo.co.id atau mawansidarta01@gmail.com https://www.youtube.com/channel/UCW6t_nUm2OIfGuP8dfGDIAg https://www.instagram.com/mawansidarta https://www.facebook.com/mawan.sidarta https://twitter.com/MawanSidarta1

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengintip Aksi Penderes Kelapa di Cilacap

31 Juli 2015   11:34 Diperbarui: 12 Agustus 2015   04:48 2292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kota kecil Cilacap yang dikenal sebagai penghasil semen dan minyak bumi itu ternyata memiliki potensi buah kelapa yang lumayan besar. Biasanya penyebaran pohon kelapa ini bisa kita temukan di banyak kawasan yang berada tidak jauh dari pantai. Namun di banyak daerah pedalaman Cilacap, pohon kelapa itu juga banyak kita temukan di sana.

Di Kecamatan Bantarsari-Cilacap misalnya, hampir di setiap halaman rumah warga kita temukan pohon kelapa. Semakin luas halaman (pekarangan/kebun) seorang warga kemungkinan besar pohon kelapa yang di tanamnya juga banyak.

Pagi itu, sehari setelah lebaran kedua, saya mencoba mendatangi Desa Reong, salah satu desa di Kecamatan Bantarsari yang dikenal sebagai penghasil gula merah (gula kelapa). Sering saya melihat suasana pagi di banyak kawasan pedesaan di Jawa Timur, harusnya di pagi seperti itu keadaan desa sudah riuh-redah dengan aktivitas warga desa.

Apakah itu kesibukan warga desa yang hendak bertani ke sawah atau berbagai aktivitas lainnya. Namun lain dengan Desa Reong, di pagi yang sudah beranjak siang itu tak banyak terlihat warga yang lalu-lalang di jalan desa. Nyaris tak terlihat kesibukan di sana. Apakah karena masih dalam suasana lebaran? Atau memang seperti itu kebiasaan masyarakat desa itu.

Sayangnya saya belum pernah mengamati aktivitas pagi hari masyarakat Desa Reong di hari-hari biasa sebab itu saya belum bisa menyimpulkan secara jelas.

Keadaan desa yang lengang itu malah menjadi daya tarik tersendiri. Saya memanjakan mata dengan melihat-lihat panorama alam, keadaan yang sebenarnya di sekeliling desa tanpa rasa sungkan kalau-kalau di ketahui warga desa.
Kebun kelapa yang luas, persawahan yang menghijau, pintu air di pinggiran sawah, rumah-rumah warga desa yang masih sederhana, jalan desa yang sudah mulai rusak dan beberapa warga desa yang sedang bercengkerama satu sama lain menjadi pemandangan menarik yang saya saksikan pagi itu.

Cukup jauh saya melangkahkan kaki memasuki Desa Reong. Terkadang saya berpapasan langsung dan bertegur sapa dengan beberapa warga desa yang dengan ramah menanyakan apa maksud kedatangan saya di pagi itu.
Hari beranjak siang, keringat mulai membasahi badan akibat berjalan kaki cukup jauh, mungkin mencapai 6 sampai 7 kilometeran. Namun saya masih tetap optimis dengan tujuan saya semula yakni melihat dari dekat aktivitas penderes air nira kelapa.

Sekembali dari Desa Reong, kira-kira 2 kilometer dari pusat desa, saya menemukan seorang penderes bernama Ngadino. Benar-benar mujur, seperti yang saya harapkan.

Ngadino (28 tahun) merupakan salah seorang penderes nira kelapa yang belakangan ini sudah mulai jarang kita temukan di kawasan pedesaan. Banyak profesi penderes semakin ditinggalkan warga desa dengan bermacam-macam alasan seperti diantaranya risiko jatuh dari pohon kelapa yang akhirnya menewaskan seorang penderes atau mungkin kalau tidak meninggal ya cedera hingga menyebabkan cacat seumur hidup sampai dengan minimnya penghasilan sebagai penderes.

Di kesempatan itu, dengan logat Ngapak-ngapaknya, Ngadino bercerita secara gamblang tentang suka-dukanya sebagai penderes. Pria berputra satu itu sebenarnya sudah merasa kapok karena pernah terjatuh dari pohon kelapa saat sedang “nderes” (menyadap air gula/nira) kelapa.

Bisa Anda bayangkan sendiri bagaimana rasanya terjatuh dari pohon kelapa yang tingginya bisa mencapai 20 meter itu sementara di bawahnya tanpa alas atau pelindung apapun. Mak brekk aja, begitu kira-kira. Sakitnya tak terkira mungkin langsung cedera bahkan bisa berakibat fatal sampai meninggal pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun