[caption caption="Sejumlah pasien Badan Penyelenggaran Jaminan Sosia (BPJS) tengah mengantre untuk masuk ke ruangan pelayanan di Rumah Sakit Tarakan, Jakarta Pusat, Selasa (18/2/2014). (WARTA KOTA/ANGGA BHAGYA NUGRAHA)"][/caption]Polemik kenaikan BPJS oleh pemerintah yang rencananya akan dieksekusi di hari pertama pada bulan keempat di tahun yang ke 2016 ini menuai pro dan kontra yang berkepanjangan, baik di kalangan Legislatif maupun Ekseskutif, termasuk masyarakat luas pengguna layanan BPJS selama ini.
Alasan kenaikan iuran BPJS itu lantaran BPJS mengalami defisit anggaran sehingga pemerintah menyiapkan payung hukum melalui Peraturan Presiden nomor 19 Tahun 2016 yang mengatur kenaikan iuran BPJS, dengan rincian sebagai berikut;
- Kelas I : Rp 59.500 naik menjadi Rp 80.000
- Kelas II : Rp 42.500 naik menjadi Rp 51.000
- Kelas III : Rp 25.500 naik menjadi Rp 30.000
Alasan defisit anggaran BPJS itu justru menimbulkan banyak pertanyaan karena realitanya anggaran pemerintah khusus untuk kesehatan seluruh rakyat Indonesia adalah 5% dari total APBN di mana 2/3 dari 5% itu digunakan khusus untuk membiayai kesehatan masyarakat.
Jumlah 5% dari total APBN itu 100 triliun, masa tak bisa digunakan untuk menyuntik dana segar ke BPJS, karena sepertinya BPJS selama ini pontang-panting berjuang sendiri berharap kepada iuran masyarakat, lantas di mana peran dan sumbangsih pemerintah menyokong BPJS supaya tetap survive?
Bagaimana BPJS enggak defisit, ruang lingkup layanan BPJS itu melingkupi rawat jalan maupun rawat inap, termasuk biaya pemeriksaan kehamilan dan biaya melahirkan, termasuk namun tak terbatas pada biaya kesehatan untuk semua jenis penyakit, layanan Ambulance, pelayanan forensik, jenasah, dan semua yang menyangkut kesehatan dan indikasi medis yang diderita oleh pasien.
Itu belum termasuk biaya terhadap pasien-pasien yang menderita sakit jantung yang biayanya tembus sampai ratusan juta per pasien, membiayai pasien yang wajib cuci darah seminggu tiga kali, sekali cuci darah paling murah itu ya sekitar Rp 800 ribu, itu ditanggung oleh BPJS seumur hidup kepada pasien yang bersangkutan. Apa nggak nombok itu BPJS?
Saat ini total keseluruhan pengguna BPJS di negeri ini sebanyak 140 juta jiwa, taruhlah 1% saja yang sakit, artinya sudah 1,4 juta orang dengan besaran biaya perawatan yang beda-beda, sudah berapakah dana yang harus digelontorkan oleh BPJS itu? Mikir dong.
Sebenarnya iuran bulanan BPJS itu TIDAK PERLU NAIK jika program-program Kementerian Kesehatan jalan semua, bagaimana menyehatkan rakyat Indonesia sehingga enggak sakit-sakitan, program penyuluhan rutin secara berkala terkait pola hidup sehat, rajin berolahraga, makan dan tidur teratur supaya terhindar dari yang namanya sakit penyakit.
Kementerian Kesehatan juga wajib melakukan fogging rutin tiap bulan di semua RT dan RW dari Sabang sampai Merauke, supaya rakyat jelata miskin merana bisa terbebas dari cengkeraman demam berdarah, menyuplai obat-obatan Malaria di pedalaman-pedalaman, serta program-program layanan kesehatan lainnya yang bermanfaat bagi masyarakat.
Namun realitanya program-program kesehatan dari Menteri Kesehatan selama ini tak pernah jalan, enggak tau apa yang Menteri Kesehatan kerja selama ini karena enggak kedengaran gaungnya, beda dengan Menteri Susi yang terlihat energik, kreatif, dan rajin bekerja sehingga hasil kerjanya nyata di lapangan dan menuai pujian dari banyak orang.
Yang lebih konyol lagi, program-program dari Kementrian Kesehatan itu tiap tahunnya ternyata hanya hasil Copy Paste doang dari tahun-tahun sebelumnya, cuma diganti tahun sama nama pejabat yang berwenang. Mereka pernah diomelin sama Komisi IX DPR RI, karena proposal program kerja yang mereka ajukan ke Komisi IX itu ternyata hasil salin rekat dari tahun sebelumnya, nggak ada inovasi dan kreativitasnya sama sekali.