Mohon tunggu...
mavi
mavi Mohon Tunggu... Bankir - I'm the straw to your berry

Menulis adalah pelarian yang paling nyaman ketika benang-benang dikepala sudah mulai kusut dan butuh diuraikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anak Baik

5 Januari 2019   06:04 Diperbarui: 5 Januari 2019   06:17 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Letter

Aku dipinjamkan sayap-sayap kecil malaikat untuk kupasangkan pada tiap-tiap kata

ANAK BAIK

a mini fiction
......
Kreek ! 
Ujung pensilku patah untuk yang kesekian kalinya.
Seperti malam-malam sebelumnya, malam inipun aku tak akan konsentrasi belajar.
Diluar, orang tuaku sedang beradu mulut diiringi perkusi alami peralatan dapur yang saling melayang. Biarkan saja, toh sebentar lagi mereka akan kelelahan.

Musik berhenti, aku keluar kamar.
Kulihat Ayah telentang di sofa tengah, sedang dari celah pintu kamar yang tak sepenuhnya tertutup, terlihat Ibu tidur menghadap tembok. Mengabaikan semuanya, aku berjalan menuju dapur, sesekali berjengit ketika tanpa sengaja menginjak serpihan beling yang bertebaran di lantai dapur.
Tidak, aku tidak berniat membersihkannya pun. Itu akan menjadi pekerjaan pertama Ibu sebangunnya nanti.
Kugunakan sebuah gelas yang selamat dari amukan Ibu untuk mengambil air dari keran. Masa bodoh dengan perkara masak dan dimasak. Tenggak saja. Toh sakit sudah ada yang mengatur.
Kulemparkan gelas begitu saja ke lantai dapur. 'untuk apa capek-capek ku letakkan di wastafel, cepat ataupun lambat akan tetap berakhir sama, hancur dilantai dapur. Olehku- atau Ibu.

Suara rautan pensil mendominasi kamarku. Kulirik jam didinding merujuk ke arah setengah dua belas.
Hah...menyebalkan. Tak tahukah mereka aku lusa ujian? Haruskah kulewati dengan suasana yang sama?
Sepertinya aku harus melakukan sesuatu besok.
Aku ingin lulus, aku ingin ujian.
Aku kembali meraut pensil dalam diam.
*****
Kreek ! 
Pensilku patah lagi, kulirik jam didinding, masih pukul sembilan malam.
Aku beranjak menuju dapur.
Di depan pintu kamar aku menyunggingkan senyum, pintu kamar Ibu tertutup, tak ada lagi Ayah yang telentang di sofa.
Melanjutkan ke dapur, aku melenggang bebas. Tak ada lagi serpihan-seipihan gelas yang sebenarnya akan terlihat seperti kristal jika diamati secara artistik, apalagi ketika tertimpa lampu temaram dari sisi dapur.
Setelah bertanggung jawab atas dahagaku, ku letakkan gelas di wastafel, sepertinya aku harus membiasakan semua ini, mulai sekarang, walau godaan untuk membenturkannya ke lantai dapur begitu besarnya.
Aku kembali ke kamarku, meraut pensil dengan diam.

Jika kalian bertanya dimana kedua orang tuaku, tenang saja,
Mereka sudah ku akurkan.
Tak lagi tidur berpunggungan, sekarang bahkan mereka tidur berhadapan dalam damai.
Didalam tanah, di halaman belakang.

Kubuka kotak kecil di meja sebelah, kusisakan yang penting dari mereka, masing-masing potongan tangan kanan mereka, untuk kucium ketika berangkat sekolah esok pagi. Kebiasaan yang mereka ajarkan sejak dini.

Aku melirik jam, setengah sebelas. Dan semua pelajaran telah terserap sempurna.
Sepertinya sudah waktunya tidur.
Lebih cepat dari sebelum-sebelumnya tentu saja, dan akan sama untuk kedepannya.

Mematikan lampu, aku rebahan di atas dipan.
Good night all....

Oh iya, tolong ingatkan aku untuk mencuci pisau dan gergaji di wastafel besok pagi, aku tak ingin noda darahnya mengering.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun