Mohon tunggu...
Maurin Viany
Maurin Viany Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang penulis amatir.

Booklover.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memilih Netral, Apakah Sama dengan Apatis?

13 Mei 2018   01:17 Diperbarui: 13 Mei 2018   01:22 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketiga, nepotisme yang kerap terjadi dan mencoba untuk berusaha sendiri dengan jujur. Memang, menjadi kader partai itu lebih leluasa "menjilat" atasannya. Mau minta jabatan, sungkan untuk ditolak. Saya sendiri yang netral, cukup sulit memasuki organisasi dalam kampus, karena tidak punya backingan yang kuat. Pernah saya dan teman-teman netral mendaftar menjadi pengurus himpunan, namun semuanya ditolak. 

Padahal salah seorang teman saya mempunyai kecakapan dalam berorganisasi tapi tidak diterima. Sedangkan teman satu lagi anggota salah satu partai yang dirasa kurang mampu, malah masuk. Sayang sekali kalau karena alasan koneksi tetapi mengesampingkan kualitas. 

Saya menantang diri sendiri untuk harus bisa memasuki organisasi kampus dengan keringat sendiri, bukan hasil bagi-bagi jabatan. Kalau dari zaman kuliah saja sudah ada praktik (semi) nepotisme, jangan harap ketika di dunia kerja bisa bertahan sendirian ketika tak ada yang bisa membantu. 

Keempat, menjadi netral bisa membuka mata lebih lebar. Menjadi netral tak ada hal yang perlu dipaksa. Tak usah mendukung calon partaimu ketika kamu merasa mereka tidak cukup cakap, memilih berdasarkan hati nurani dan analisis sendiri. Menjelek-jelekkan lawan ketika kamu sendiri merasa mereka lebih baik, atau berbohong demi kepentingan partai sendiri. Semua itu tidak berlaku bagi netral.

Mereka bebas melihat dunia tanpa dicekoki ideologi partai, bisa melihat sendiri mana yang baik dan buruk, dan tidak sungkan bergaul dengan kalangan manapun. Di dunia ini, kalau tidak ada orang yang netral, tak akan habis perdebatan antara kubu satu dengan yang lainnya.

Tetap saja, keberadaan orang-orang netral ini dianggap hina. Apatis lah, pemalas, penakut, pecundang, dan lain-lain. Saya sama sekali tak tersinggung dengan kata-kata itu. Bukan mengiyakan, tapi masing-masing pribadi punya alasan tersendiri, begitu juga mereka yang memilih mengikuti suatu partai. Tak ada yang salah atau benar selama meyakini dari hati nurani masing-masing. Saya tak pernah menganggap orang-orang partai itu buruk. Yang saya yakin bahwa pilihan menjadi netral itu baik bagi saya. 

Jadi, apakah menurutmu menjadi netral sama dengan apatis ? Ayo beri tanggapan di kolom komentar ya, terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun