Hari Selasa siang, seperti biasanya Maura tak langsung pulang. Hari ini adalah hari terakhir ujian semester di sekolahnya.
"Lu masih mau tinggal dulu di kelas, Mau?" tanya Lesly, sementara tangannya sibuk memasukan buku dan peralatan tulis ke dalam tasnya.
Maura mengangguk. Pandangnya masih terpaku pada layar tablet di hadapannya. Di luar kelas masih terdengar suara beberapa anak yang berteriak saling sahut dari arah aula.
"Kalo gitu, gue duluan ya Mau... abang gue udah nunggu di gerbang sekolah dari tadi!" Lesly berdiri, siap-siap beranjak meninggalkan Maura. Maura kembali menggangguk tanpa mengalihkan pandang sedikitpun.
"Sstt... pulangnya jangan sore-sore Mau, nanti ada yang jemput lu ke sini!" bisik Lesly pelan sebelum meninggalkan kelas.
Buuukk!
"Awwww... sialan lu Mau, masa kepala gue, lu timpuk buku!" Lesly berseru saat Maura melemparkan sebuah buku ke arahnya. Tak lama dia berlari meninggalkan Maura, diiringi gelak tawa yang berderai memenuhi lorong kelas.
Sepeninggal Lesly, Maura kembali berkonsentrasi pada garis-garis gambar yang ada dalam layar tabletnya. Dua hari lagi desain poster yang dia buat, harus segera dikirimkan ke pengurus Mading Digital sekolahnya.
Duaarrr!
Tiba-tiba terdengar suara petir dari kejauhan. Sontak Maura melongokan kepalanya ke arah jendela. Langit terlihat gelap. Awan pekat berisi titik-titik air, saling berarak disertai gemuruh angin yang menderu. Benar saja, tak lama hujan turun dengan derasnya. Tetesannya berebut menimpa atap. Suaranya terdengar begitu jelas tepat di atas kepala Maura. Dengan malas, Maura beranjak ke arah saklar lampu.
Ctiikk!
Seketika ruang kelas yang tadi muram, menjadi lebih terang. Tak ada siapa-siapa lagi di kelas itu. Begitupun dengan kelas-kelas sebelah. Sepertinya murid-murid yang lain sedang merayakan kemerdekaannya, terbebas dari soal-soal ujian dengan segera pulang cepat.Â
Mungkin mereka akan pergi nonton atau sekedar nongkrong di mall, seperti rencana teman-teman di kelas Maura. Tapi sayang, kemerdekaan mereka terpaksa tertunda karena hujan seolah tak mau diajak kerja sama. Maura kembali melongokkan kepalanya ke arah jendela.Â
Titik-titik hujan terlihat bagai ribuan jarum yang terlempar dari angkasa. Pletakk... Pletukk... Bunyinya bergemuruh, sambar menyambar dengan suara petir dan kilat. Bagai tak ada yang mau mengalah di antara mereka.
Kreek!
Sekonyong-konyong pintu kelas yang tadi tertutup tiba-tiba terbuka.
Wusss!
Angin dari arah lapangan upacara, berlari masuk ke dalam kelas.
"Ahh... angin sialan!" batin Maura. Terlalu malas dia berjalan ke arah pintu. Dan dia biarkan pintu kelas terus terbuka, sementara angin-angin itu silih berganti keluar masuk seolah sedang bermain petak umpet.
"Kok kamu belum pulang, nak?" tiba-tiba ada suara lirih mengagetkan Maura. Dari arah pintu, Maura melihat ada seorang guru perempuan dengan seragam coklat dan kerudung motif bunga berwarna krem, tengah berdiri. Tangan kirinya mendekap sebuah map tebal, sedangkan tangan kanannya menggenggam sebatang pensil.
"Permisi, ibu mau cek dulu kebersihan kelasnya ya," guru itu berkata lagi. Sedangkan Maura tak bergeming dari bangkunya. Kepalanya hanya mengangguk dengan perasaan kaget dan takut. Dia perhatikan guru itu berkeliling mengitari seisi ruangan tanpa suara. Sesekali langkahnya terhenti, sambil tangannya mencatat sesuatu ke atas kertas dalam mapnya. Tak lama guru itu melewati bangku Maura.
Aneh! Maura merasakan ada hawa dingin yang ganjil menyergap kulit arinya. Dan aroma tubuh guru itu sangat menyengat.
Uhuuk!
Maura terbatuk. Bau melati begitu menusuk lubang hidungnya. Refleks dia tutup hidungnya. "Parfum si ibu aneh banget deh!" bisik hatinya.
Sekitar lima menit, guru itu mengecek kelangkapan kelas. Tak berselang lama guru itu pun keluar ruangan, meninggalkan Maura masih tanpa suara. Â
Rasa penasaran mendorong Maura untuk mengikuti guru itu dari belakang. Rasanya dia belum pernah melihat guru tersebut. Saat perkenalan staf guru sewaktu MPLS pun, Maura tak pernah melihat sosoknya. Mungkin beliau guru kelas XII, pikirnya. Maura berjingkat ke arah pintu. Kepalanya melongok keluar, mencari-cari sosok guru yang baru saja keluar dari ruang kelasnya.
Tik...tikk...
Tetes hujan terdengar masih saling berebut menimpa atap. Tapi suaranya tak sebising tadi. Dari arah aula, samar-samar masih terdengar suara anak-anak yang saling berteriak. Sepertinya anggota eskul teater masih sedang latihan. Di pojok sekolah tak jauh dari toilet, selintas Maura melihat guru tadi sedang berjalan ke arah kantin.
Aneh! "Kenapa guru tadi sudah ada di sana?" batin Maura heran.
"Ahh, mungkin itu bukan guru yang tadi!"
Titik-titik hujan meninggalkan kabut tipis yang menghalangi ruang pandangnya. Sepersekian detik, sudut mata Maura kembali menangkap guru itu sedang berjalan menyusuri lorong kelas XII yang berjejer di sebrang lapangan upacara.Â
Maura memicingkan matanya. Sekuat tenaga dia coba untuk memperjelas daya tangkap retina dalam netranya.
"Gak salah lagi, itu guru yang tadi," bisik Maura. Dia masih ingat seragam coklat dan kerudung motif bunga yang dikenakan guru itu. Tangan kirinya pun masih mendekap sebuah map. Hanya saja tangan kanannya terlihat dibenamkan ke dalam saku yang ada di pinggiran seragamnya.
Tiba-tiba, Maura melihat guru itu tersenyum ke arahnya. Hmm... lebih tepatnya menyeringai!
Maura berdiri dengan kaku. Dia memberanikan diri untuk melirik ke kanan dan ke kiri. Berusaha memastikan ada murid lain selain dirinya yang berdiri di deretan kelas X. Sepi.Â
Hanya dia yang mematung di sana. Jarak antara tempatnya berdiri dengan lorong di sebrang lapangan itu sebenarnya agak jauh. Tapi tadi Maura melihat dengan jelas guru itu berjalan perlahan dengan seringai dan tatapan tajam ke arahnya. Lalu...
 "Eeh... guru itu hilang!" Maura berseru. Lorong kelas XII di sebrang lapangan upacara, nampak samar terhalang kabut. Tak ada siapa-siapa di sana.
Tanpa sadar, Maura merasakan badannya bergetar. Jantungnya berdebar kencang. Dia ingin berteriak, tapi mulutnya terasa kering seperti kapas. Kakinya seakan terpasung, berat sekali rasanya untuk bergerak.
"Bismillaaah... Bismillaaah..." dalam hati Maura berusaha merapalkan doa. Aahh... perasaan takut begitu penuh dalam pikirannya. Bahkan hanya untuk sekedar mengingat doa-doa pengusir setan pun, Maura benar-benar lupa. Beruntung dia masih ingat "Basmallah".
Debaran di dadanya masih bertalu. Keringat dingin membasahi punggung seragamnya. Maura berharap apa yang dilihatnya tadi hanya mimpi.
"Mauraaa... Mauraaa!" lamat-lamat telinganya menangkap suara seseorang memanggil namanya. Dari arah aula, Maura melihat Sofi teman sekelasnya melambaikan tangan. Maura membalas lambaian tangan Sofi dengan rasa bahagia yang teramat. Perasaan lega menyelimuti hatinya dengan hangat. Maura segera berlari ke arah Sofi dan memeluk temannya itu erat.
"Woyyy... Kenapa lu?" Sofi bertanya heran. Maura menggeleng lalu tawanya berderai. Dia benar-benar lega. Sofi telah berhasil membebaskannya dari rasa takut.
*****
Malamnya, Maura terbangun. Dia tersentak dari tidurnya, kemudian duduk di tepi ranjang. Keringat dingin kembali membasahi permukaan kulitnya.Â
Dia bermimpi buruk. Dalam mimpinya, dia serasa dikejar-kejar. Meski sudah terjaga, jantungnya masih terasa berdebar. Dia lupa. Dikejar-kejar apa? Oleh siapa?
Sesaat dia layangkan pandangannya ke seluruh kamar. Selarik cahaya terlihat menerobos melalui celah pintu. Satu detik... dua detik... lima detik. Â
Maura menunggu detak jantungnya kembali normal. Tak biasanya, malam itu kamarnya terasa panas dan pengap. Sekilas dia menoleh ke jam kecil yang ada di atas meja belajar. Hampir jam tiga pagi. Sekarang dia benar-benar tidak bisa tidur lagi. Mimpi buruk itu belum sepenuhnya lenyap dalam benaknya. Sambil bersandar di sisi tembok, Maura mencoba mengingat kembali alur dalam mimpinya tadi.
Sialan! Kenapa otak ini tak mampu bekerja dengan baik, rutuknya kesal. Jemarinya mencengkram rambutnya yang terlihat masai.
Tap... tap... tap!
 Dia berlari di sana. Menyusuri lorong di antara ruang-ruang yang berderet. Di belakangnya terdengar ada langkah lain. Semakin dekat, semakin dekat. Maura memberanikan diri untuk menengok. Tak ada siapa-siapa.
Aaah...dia ingat sekarang! Terlintas lagi senyum menyeringai guru itu saat kakinya berjalan perlahan menyusuri lorong di depan ruangan kelas XII.
*****
Dengan hati-hati, Maura menelusuri setiap postingan yang ada di akun instagram sekolahnya. Pandangannya menatap tajam ke layar tablet yang dia genggam. Dia khawatir matanya luput dari berita yang dia cari.
Postingan di Januari 2021 telah terlewat. Sampai akhirnya...
Deg!
"Innalillahi Wa Innailaihi Rojiun -- Telah berpulang ke Rahmatullah, Rekan dan Guru kami tercinta Fatmawati Soesilo, S. Pd -- Semoga Almarhumah diterima amal ibadahnya dan diampuni semua dosa dan khilafnya"
Sebuah obituari dengan foto seorang guru berkerudung motif bunga berwarna krem, terpampang pada postingan tertanggal 26 Desember 2020. Wajah guru dalam obituari itu sama persis dengan wajah guru yang dua hari lalu masuk ke dalam kelasnya. Wajah guru yang juga menyeringai di lorong depan ruangan kelas XII.
*****
(cerpen ini pernah diikut sertakan pada lomba menulis cerpen yang diselenggarakan oleh HIMA ESY Yogyakarta tahun 2022)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H