Abstract:
Penelitian ini diangkat berdasarkan kasus yang terjadi di masyarakat di mana perempuan dan laki-laki hidup bersama tanpa perkawinan yang sah baik secara agama maupun negara. Permasalahan yang muncul dalam penelitian ini adalah terkait dengan bagaimana pandangan pelaku dan masyarakat setempat terhadap hidup bersama tanpa perkawinan yang sah, apa saja dampak yang ditimbulkan dari kasus tersebut, dan bagaimana alternatif penyelesaian kasus tersebut. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan dengan studi kasus dan pendekatan yang digunakan adalah normatif-sosiologis.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah, pertama, Pelaku hidup bersama tanpa perkawinan yang sah mengetahui bahwa kehidupan yang mereka jalani tidak sesuai atau bertentangan dengan aturan hukum. Dan masyarakat setempat mengerti bahwa hidup bersama antara laki-laki dan perempuan tanpa perkawinan yang sah adalah perilaku yang tidak baik untuk dilakukan alias perilaku buruk.Â
Kedua, Dampak yang ditimbulkan dari kasus hidup bersama tanpa perkawinan yang sah adalah mengenai akta kelahiran anak mereka yang mana tidakmemuat nama ayah biologisnya. Selain itu, anak juga tidak mempunyai hak keperdataan berupa hak waris dan hak nafkah dari ayah biologisnya.Â
Namun setelah adanya putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang me-review UU No. 1 tahun pasal 43, anak yang dilahirkan di luar perkawinan dapat memperoleh hak keperdataan mereka dengan putusan pengadilan. Ketiga, Pelaku hidup bersama tanpa perkawinan yang sah ingin meresmikan hubungan mereka dengan perkawinan akan tetapi mereka mempunyai kendala atau halangan untuk kawin.Â
Dalam kasus pertama yakni Sarina terkendala dengan statusnya yang masih terikat perkawinan yang sah dengan suaminya, maka untuk dapat kawin lagi langkah awal yang harus dilakukan sarina adalah dengan melakukan perceraian di depan sidang pengadilan. Sedangkan dalam kasus kedua yakni Salima terkendala dengan izin dari pihak keluarga laki-laki.Â
Namun sebenarnya, berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 izin tersebut tidak sampai membuat salima terlarang melakukan perkawinan. Mengingat bahwa usia salima dan pasangan laki-lakinya yang sudah di atas 21 tahun maka berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 mereka tidak lagi membutuhkan izin dari wali terutama bagi si laki-laki.
Keywords: Perempuan hidup bersama laki-laki, hidup bersama, tanpa perkawinan yang sah
Pendahuluan
Sebagai manusia yang diciptakan menjadi makhluk sosial dan memiliki hasrat seksual, manusia mempunyai hak untuk membentuk keluarga guna menyalurkan hasratnya agar dapat melanjutkan keturunan. Dalam UU No. 19 Tahun 1999 pasal 10 menyatakan bahwa setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Adanya syarat perkawinan yang sah untuk membentuk sebuah keluarga ini, menggambarkan bahwa apabila pembentukan keluarga dilakukan tanpa perkawinan yang sah maka hubungan kelurga tersebut adalah illegal. UU No. 1 tahun 1974 sebagai UU Perkawinan diindonesia juga menyatakan hal yang sama di mana perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.Â
Dari UU No.1 tahun 1974 ini dipahami bahwa untuk membentuk sebuah keluarga harus dimulai dengan perkawinan antara laki-laki dan perempuan agar dapat membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, membentuk keluarga yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan legal atau sahnya suatu perkawinan dipandang dari 2 aspek, yakni sesuai dengan aturan dalam agama dan taat pada hukum negara, di mana perkawinan harus dicatatkan. Hal ini sebagaimana yang tertera dalam pasal 2 UUP bahwa Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan tiap-tiap Bertolak belakang dengan peraturan undang-undang, kenyataan yang terjadi di masyarakat bahwa tidak semua laki-laki dan perempuan yang hidup bersama untuk membentuk sebuah keluarga terikat dengan perkawinan yang sahbaik secara agama maupun hukum negara. Kehidupan seperti ini biasa dikenal masyarakat dengan istilah kumpul kebo.Â
Dalam kehidupan tersebut, individu bebas melakukan hubungan seksual dengan pasangan hidupnya, bahkan hingga mempunyai keturunan.perkawinan harus dicatatkan.
Dan itulah yang terjadi di Desa Mendak Kecamatan Delanggu Kabupaten Klaten. Desa yang mempunyai jumlah penduduk 2.326 jiwa dari 808kartu keluarga tersebut, ditemukan 2 kasus perempuan yang melakukan hidup bersama laki-laki tanpa perkawinan yang sah.
Kasus pertama terjadi pada seorang perempuan yang masih berstatus sebagai istri yang bernama Sarina. Sarina mengungkapkan bahwa ia telah menjalin hubungan dengan seorang laki-laki pada tahun 2020 meskipun ia masih berstatus sebagai istri dari suaminya.Â
Diketahui bahwa ia memilih meninggalkan suaminya dengan alasan suaminya itu sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ketika ditanya mengapa tidak mengajukan gugat cerai, ia menjawab bahwa ia belum mampu membayar biaya perceraian. Dari hubungan tersebut ia dikaruniai seorang anak.
Kasus kedua terjadi pada seorang perempuan yang masih berstatus perawan atau belum pernah kawin. Perempuan itu bernama Salima. Salima mengungkapkan bahwa ia telah menjalin hubungan dengan seorang laki-laki yang berstatus duda sejak tahun 2016. Dari hubungan tersebut ia dikaruniai seorang anak. Sebenarnya, ia ingin hubungannya diresmikan dengan perkawinan yang sah, akan tetapi karena ada kendala ijin dari keluarga laki-laki maka ia belum bisa meresmikan hubungannya. Dan akhirnya hingga kini ia masih menjalin hubungan tanpa perkawinan yang sah dengan laki-laki itu.
Melihat adanya 2 kasus perempuan yang melakukan hidup bersama lakilaki tanpa perkawinan yang sah di atas, peneliti menilai beahwa kasus tersebut menarik untuk di teliti karena jarang sekali dijumpai kasus seperti itu terjadi di masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan yang sekiranya menjadikan penelitian ini menarik diteliti aadalah apakah masyarakat mengetahui kbagaimana pandangan masyarakat dan bahkan pelaku terhadap kasus hidup bersama laki-laki tanpa perkawinan yang sah. Kasus 2 perempuan itu, bagaimana pandangan masyarakat dan bahkan pelaku terhadap kasus hidup bersama laki-laki tanpa perkawinan yang sah.
Selain menarik, peneliti menilai bahwa kasus 2 perempuan ini juga penting dilakukan penelitian agar dapat mengetahui apa saja dampak yang ditimbulkan dari kasus ini, dan bagaimana alternatif penyelesaian kasus ini. Berangkat dari berbagai permasalahan yang timbul tersebut, maka peneliti mengangkat judul skripsi "STUDI KASUS PEREMPUAN YANG HIDUP BERSAMA LAKI-LAKI TANPA PERKAWINAN YANG SAH DI DESA MENDAK KECAMATAN DELANGGU KABUPATEN KLATEN"
Hasil dan Diskusi
Hidup Bersama tanpa Perkawinan yang Sah
Pengertian hidup bersama tanpa perkawinan yang sah
Di Indonesia, masyarakat menyebut pasangan laki-laki dan perempuan yang hidup bersama tanpa pekawinan yang sah dengan istilah "Kumpul Kebo".Pada zaman dahulu penyebutan istilah ini adalah "koempoel gebouw". Kata koempoel berasal dari bahasa melayu yang artinya kumpul.Â
Dan gebouw berasal dari bahasa belanda yang artinya bangunan atau rumah. Jadi kumpul kebo atau koempoel gebouw adalah berkumpul di bawah satu atap rumah. Budaya kumpul kebo ini telah ada sejak akhir abad ke-20 di negaranegara barat. Mulai meluas dan dikenal di masyarakat indonesia sejak penelitian seorang mahasiswa yang dilakukan di daerah Yogyakarta sekitar tahun 1980-an.
Dan bila ditelusuri lebih lanjut, budaya kumpul kebo yang terjadi di tengah--tengah masyarakat indonesia tidak lepas dari perkembangan kawin selir. Kawin selir ini sejak dulu sampai sekarang masih tetap berlaku baik di masyarakat timur maupun barat, baik dilakukan oleh bangsawan maupun rakyat biasa. Bahkan ada juga yang disebut dengan kawin tajribah (percobaan), yang berarti antara lakilaki dan perempuan kumpul dulu dalam satu rumah seperti suami istri untuk waktu tertentu tanpa ikatan perkawinan yang sah, kemudian kalau ternyata tidak cocok rencana perkawinan dibatalkan
Faktor yang mempengaruhi hidup bersama tanpa perkawinan yang sah.
Seorang individu baik laki-laki maupun perempuan mengambil keputusan untuk melakukan hidup bersama tanpa perkawinan yang sah karena didasari beberapa faktor. Menurut Agoes Dariyo, ada 3 faktor yang mempengaruhi individu untuk melakukan hidup bersama tanpa perkawinan yang sah. Diantaranya:
a. Ketidaksiapan mental untuk menikah. Individu mau membentuk hubungan romantis dengan pasangannya sehingga ia dapat menyalurkan kebutuhan seksualnya tnpa harus terikat dengan perkawinan yang sah. Mereka yang melakukan hidup bersama tanpa perkawinan yang sah umumnya tidak mempunyai kesiapan mental untuk memasuki jenjang perkawinan, walaupun usia dan pekerjaan atau ekonomi telah memenuhi syarat perkawinan.
b. Ketidaksiapan secara ekonomis. Dari segi usia, mungkin mereka yang
melakukan hidup bersama tanpa perkawinan yang sah telah memenuhi syarat perkawinan, namun dari segi ekonomi mereka masih merasa belum siap untuk melakukan perkawinan. Sementara itu, dorongan seksual dari dalam dirinya sudah seharusnya memperoleh penyaluran. Untuk itu, pada akhirnya mereka tersebut memilih melakukan hidup bersama tanpa perkawinan yang sah.
c. Pengalaman traumatis sebelum dan sesudah perkawinan. Mungkin mereka yang melakukan hidup bersama tanpa perkawinan yang sah pernah mendapatkan pengalaman pahit dari pasangan mereka sebelumnya, misalnya ketidaksetiaan pasangan hidupnya, pasangan melakukan tindakan KDRT, pasangan selingkuh dengan orang lain. Lalu dari berbagai pengalaman itu mendorong mereka untuk melakukan hidup bersama tanpa perkawinan yang
sah karena takut pengalaman pahitnya terulang Kembali