Setelah adanya ratifikasi terhadap sekurangnya 4 (empat) konvensi ILO, maka mogok kerja menjadi hak dasar yang ditandai dengan penghapusan terhadap Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan dan Badan yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67); Ketentuan mogok kerja sebagai hak dasar diatur pada Pasal 137 UUK
"Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan."
Hak dasar merupakan hak yang melekat pada diri manusia sejak lahir. Karena itu, mogok kerja tidak dapat dilepaspisahkan dengan pekerja. Kendati demikian, hak dasar ini dapat digunakan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Â Yang dimaksud bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan dapat dijelaskan pada uraian-uraian selanjutnya.Â
Sah Tidaknya suatu Mogok Kerja
Beberapa kegiatan mogok kerja terkadang berujung dengan pemecatan terhadap pekerja/buruh yang ikut melakukan mogok kerja. Bahkan ada pula yang berujung ke penjara. Biasanya adalah nereka yang memobilisasi mogok kerja seperti pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau yang mewakili pekerja/buruh. Hal semacam itu terjadi karena mogok kerja dilakukan secara tidak sah. Sahnya suatu tindakan mogok kerja dapat dilihat dari penyebabnya juga prosesnya.Â
Berdasarkan Penyebab
Dilihat dari penyebabnya, mogok kerja dapat terjadi sebagai akibat gagalnya perundingan (Pasal 137, UUK). Yang dimaksud dengan gagalnya perundingan dalam pasal ini adalah tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan karena (a) pengusaha tidak mau melakukan perundingan, atau (b) perundingan mengalami jalan buntu yang dibuktikan dengan risalah pertemuan.Â
Secara implisit perundingan dimaksud adalah perundingan tingkat pertama yang disebut dengan perundingan bipartit. Dalam UU Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), dirumuskan yang dimaksud dengan Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial (Pasal 1 Angka 10, PPHI). Karena unsur akibat gagalnya perundingan harus terpenuhi agar suatu tindakan mogok kerja dinyatakan sah, maka semua pihak wajib mengikuti ketentuan Pasal 3 Permenaker Nomor 31 tahun 2008 tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Bipartit. Hal mana diwajibkan adalah telah meminta secara tertulis minimal 2 (dua) kali berturut-turut dengan jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja untuk dilakukan perundingan (cf. Pasal 4, Kepmenaker 232 tahun 2003), memiliki itikad baik, bersikap santun dan tidak anarkis, dan menaati tatib yang disepakati.Â
Berdasarkan Proses
Dilihat dari prosesnya, maka suatu mogok kerja yang sah harus memenuhi ketentuan Pasal 140 UUK. Pada pokoknya, gagalnya perundingan diikuti dengan pemberitahuan secara tertulis, sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan. Pemberitahuan dimaksud disampaikan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud sekurang-kurangnya memuat (1) waktu (hari, tanggal, jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja; (2) tempat pelaksanaan mogok kerja yang tidak menghalangi pekerja/buruh lain yang akan melaksanakan pekerjaan; (c) alasan dan sebab-sebab mogok kerja; dan (d) tanda tangan penanggung jawab pelaksana mogok kerja, sekurang-kurangnya ketua dan sekretaris.Â
Selain itu, terdapat ketentuan yang membatasi pelaksanaan mogok kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang  jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia. Amanat Pasal 139 UUK adalah mogok kerja pada perusahaan sebagaimana dimaksud harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain. Pada bagian penjelasan Pasal 139 UUK dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia adalah rumah sakit, dinas pemadam kebakaran, penjaga pintu perlintasan kereta api, pengontrol pintu air, pengontrol arus lalu lintas udara, dan pengontrol arus lalu lintas laut. Sementara yang dimaksud dengan pemogokan yang diatur sedemikian rupa yaitu pemogokan yang dilakukan oleh para pekerja/buruh yang tidak sedang menjalankan tugas. Dengan kata lain, mogok kerja jika dilakukan oleh pekerja/buruh yang sedang bertugas maka dianggap mogok kerja tidak sah (cf. Pasal 5 Kepmenaker No 232 tahun 2003).Â
Karena merupakan proses, maka setiap proses pelaksanaan harus tetap sesuai amanat Pasal 137 UUK, yakni "... dilakukan secara sah, tertib, dan damai ...". Sah dimaksud ialah akibat gagalnya perundingan sehingga telah diberitahukan secara tertulis sesuai ketentuan Pasal 140 UUK. Meskipun sudah sah, pelaksanaan mogok kerja juga harus tertib. Tertib dimaksud adalah dilaksanakan secara terorganisir sehingga tidak mengganggu kepentingan publik. Selanjutnya adalah damai, yakni pelaksanaan mogok kerja tidak harus dan tidak boleh dengan cara anarkis (bertentangan dengan hukum).Â