Untuk melihat perbedaan kedua kata itu, saya ingin mengajak kita memahami sebuah subdisiplin dalam ilmu bahasa yang namanya Semantik. Semantik adalah studi tentang makna "bahasa" (saya tambahkan kata bahasa di situ karena bahasan tentang makna tidak hanya ada pada bidang semantik). Dalam semantik terdapat beberapa konsep relasi makna seperti sinonim, antonim, homonim, dan seterusnya. Tentu ini merupakan pelajaran bahasa di tingkat dasar.
Sinonim adalah bentuk (bahasa) yang maknanya mirip atau sama. Misalnya, kata mati memiliki hipernim (kata khusus varian bentuk) seperti mampus, meninggal, wafat, mangkat, berpulang, tewas, dan gugur.
Ketujuh kata ini memiliki inti (core) makna yang sama, yakni keadaan yang menggambarkan tidak lagi bernyawa atau lawan dari kata hidup. Namun penggunaan ketujuh kata itu tidaklah sama persis. Penggunaan yang tidak sama persis itulah menimbulkan asosiasi.
Coba kita bayangkan penggunaan kata mampus, meninggal, wafat, mangkat, berpulang, tewas, dan gugur pada kalimat-kalimat berikut.
- Dokter itu mampus setelah menangani pasien positif korona
- Dokter itu meninggal setelah menangani banyak pasien positif korona
- Dokter itu wafat setelah menangani banyak pasien positif korona
- Dokter itu mangkat setelah menangani pasien positif korona
- Dokter itu berpulang setelah menangani pasien positif korona
- Dokter itu tewas setelah menangani banyak pasien positif korona
- Dokter itu gugur setelah menangani banyak pasien positif korona
Bagaimana nilai rasa (konotasi) dari masing-masing kalimat di atas. Kalau kita berempati dengan tenaga-tenaga medis saat ini yang berjuang dengan gigih menyembuhkan pasien-pasien positif korona, adalah sangat tidak mungkin kita gunakan kata mampus dalam konteks kalimat itu. Hal itu karena secara asosiatif subjek penderita pada kalimat itu bermakna negatif. Kalimat-kalimat selanjutnya merupakan kalimat berkonotasi positif.
Saya tidak akan terlalu berputar di situ, tetapi sekadar ingin menekankan bahwa setiap kata yang bersinonim punya asosiasi makna yang berbeda. Karena itu dalam semantik ada juga yang disebut dengan makna asosiatif.
Makna asosiatif adalah makna kata yang muncul karena adanya hubungan kata tersebut dengan hal lain di luar bahasa. Hal lain itu bisa berupa sudut pandang (point of view) seseorang atau masyarakat umum terhadap sesuatu, termasuk kebiasaan umum yang mungkin saja telah menjadi tradisi. Misalnya, kata mudik ini berkaitan dengan tradisi pulang kampung menjelang hari raya keagamaan.
Artinya, asosiasi orang terhadap kata mudik pengertiannya tidak hanya pulang ke kampung tetapi pulang karena (alasan menjelang) hari raya keagamaan, lebih khusus hari raya keagamaan umat muslim. Selanjutnya, setelah hari raya pemudik (orang yang melakukan mudik) akan kembali lagi.
Pemaknaan seperti itu tentu berbeda dengan sekedar pulang kampung. Orang pulang ke kampung tidak semata-mata alasan hari raya. Berbeda dengan mudik yang lebih spesifik karena alasan hari raya.
Ketika Pak Jokowi menjelaskan perbedaan itu, lantas apa yang salah dari penjelasan beliau? Secara semantik dapat diterima. Tidak ada konstrain (tabrakan semantis) di situ.
Dalam penyimakan saya, Pak Jokowi tidak terjebak dengan pertanyaan Mba Nana yang telah membuka dengan pernyataan "curi start mudik". Mba Nana-lah yang menganggap mereka yang pulang kampung itu telah melakukan mudik atau pulang kampung sebelum hari raya.