Mohon tunggu...
Nurmaulana Zulfi ijul
Nurmaulana Zulfi ijul Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

menyukai hal yang berbau kebudayaan tentang negara lain

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Budaya Cosplay di Indonesia

5 Juli 2023   22:39 Diperbarui: 5 Juli 2023   22:49 2593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: instagram.com/iamyourwaiffuu

Pembicaraan tentang cosplay tentunya tidak akan lepas dari topik craftmanship (kerajinan tangan), dari dunia desain pakaian, dari industri aksesoris dan erat kaitannya dengan hobi. Cosplay ( kosupure) adalah istilah bahasa Inggris versi Jepang (wasei-eigo) yang berasal dari gabungan kata costume (kostum) dan play (bermain). 

Cosplay berarti hobi memakai pakaian beserta aksesori dan rias wajah, seperti yang biasa digunakan oleh tokoh-tokoh dalam anime, manga, manhwa, dongeng, video game, penyanyi dan musisi idola, dan film kartun. Cosplay secara spesifik menunjukkan kecintaan beberapa orang remaja yang terdiri atas komunitas-komunitas, terhadap film animasi dan karakter manga. Cosplay di Jepang, seringkali dimunculkan pada festival- festival pakaian, karnaval, dan tentunya mendapat dukungan penuh dari industri pakaian, sebagai wujud percepatan ekonomi kreatif yang memberikan ruang- ruang khusus bagi desainer dan pencipta pakaian.

Menurut Fukiko Mitamura, cosplay adalah merubah diri menjadi peran yang dibutuhkan atau status yang diinginkan, terlepas dari apakah orang tersebut memang berprofesi sebagai peran yang sedang dimainkan atau tidak, memiliki kemampuan yang dituntut harus dimiliki oleh peran yang dimainkan atau tidak. Dengan kata lain, seseorang dapat menjadi bagian dari suatu profesi atau peran hanya dengan memakai kostum yang menandai peran tersebut, sehingga seseorang akan merasa menjadi seperti orang yang diperankannya, sehingga mau tidak mau merasa berkewajiban untuk memiliki kemampuan sesuai dengan tuntutan profesi atau peran yang dimainkan, sesuai dengan kostum.

Di anneahira.com, cosplay pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1960-an dan diperkenalkan kepada penggemar cerita dan film fiksi ilmiah di Amerika Serikat melalui konvensi fiksi ilmiah. Pada konvensi ini, para peserta dibiasakan mengenakan kostum yang dikenakan oleh tokoh-tokoh sci-fi di film-film seperti film Star Trek. Bentuk bola topeng ada dalam budaya Amerika Serikat, termasuk perayaan Halloween dan Paskah.

Budaya ini kemudian mulai berkembang Jepang pada tahun 1970-an Di Jepang, budaya cosplay pertama kali muncul pada tahun 1978 pada peragaan busana di Ashinoko, Prefektur Kanagawa dalam bentuk Pesta Topeng Konvensi Fiksi Ilmiah Nihon SF Taikai ke-17. Kritikus fiksi ilmiah Mari Kotani muncul dalam kostum karakter dari cerita Edgar Rice Burroughs A Fighting Man of Mars. Selain itu, Yasuhiro Takeda, direktur perusahaan animasi Gainax, tampil dengan kostum unik berdasarkan karakter Star Wars. Keduanya adalah karakter yang berperan penting dalam epidemi cosplay di Jepang. Kompetisi cosplay sudah menjadi acara rutin sejak Nihon SF Taikai ke-19 pada tahun 1980.Cosplay semakin populer di Jepang sejak tahun 1980-an. Majalah Fanroad melaporkan penampilan khusus kelompok remaja yang menamakan diri mereka "Tominoko-zoku" dalam edisi pertamanya di bulan Agustus 1980. Komunitas ini adalah sekumpulan anak muda yang senang cosplay dengan kostum Gundam di kawasan Harajuku.

Cosplay sebenarnya berhubungan langsung dengan budaya pakaian yang berkaitan dengan animasi (film dan game) dan komik. Setiap negara memiliki karakter dan karakteristik masing-masing sebagai penentu budaya. Cosplay konon mulai populer di Indonesia sekitar tahun 1998, meski belakangan ini tidak seramai dulu. Menurut anneahira.com, ketika Universitas Indonesia mengadakan pagelaran jepang dengan mengadakan kegiatan cosplay di awal tahun 2000-an, peminat masih sedikit. Setelah kegiatan yang berlangsung di Universitas Indonesia, beberapa komunitas anak muda di Bandung sudah mulai mengadopsi gaya Harajuku. Sejak acara ini, pameran pakaian cosplay diadakan hampir setiap bulan di kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta, Bandung atau Yogyakarta. Awalnya, cosplayer Indonesia masih sangat Jepang-sentris, artinya kostumnya menggunakan karakter referensi dari komik Jepang. Memang ada cosplayer yang ide-idenya dipengaruhi Eropa, tetapi mereka berasal dari manga/manwa, bukan dari komik non-Asia.

Peluang industri pakaian jadi semakin terbuka seiring dengan tumbuhnya kebutuhan akan eksistensi dan hobi cosplay ini semakin berkembang. Tidak hanya  desainer pakaian yang diuntungkan, tetapi juga industri garmen, industri pakaian, dan industri asesoris diuntungkan dengan hadirnya cosplay sebagai ladang ekonomi baru. Di sisi lain, serbuan budaya cosplay ini semakin memperkuat peran fungsi sekunder dalam pakaian, yang tidak terbatas pada jenis kasual, melainkan memiliki nilai baru untuk pakaian. Ada banyak pengalaman artistik dalam cosplay mulai dari desain busana, pembuatan pola dan menjahit, keterampilan kerajinan tangan, pembelajaran tata rias, kegiatan akting dan koreografi hingga fotografi dan pengeditan foto termasuk pengeditan audio dan video. Bagaimanapun, cosplay ini adalah tentang seni berpakaian dan akting, yang harus hidup berdampingan dalam kerangka meniru karakter dalam pakaian dan kepribadian idola (yang berperan sebagai panutan). Tentunya, ini bukanlah hobi yang murah dan gratis, diperlukan kemauan dan kerja keras cermat untuk menghasilkan pakaian cosplay dengan kualitas baik, termasuk penggunaan aksesorinya.

Perubahan dan akulturasi yang terjadi pada cosplay, memungkinkan gaya dan hobi berpakaian dengan rujukan animasi dan manga ini berkembang sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan kemampuan berkreativitas dari pencipta pakaian itu sendiri. Pada akhirnya, hadir pula konsep-konsep dengan nuansa lokalitas, baik dalam penggunaan rujukan, maupun dengan material yang digunakan dalam pembuatan pakaian. Munculnya cosplay dengan nama-nama lokal seperti pakaian Si Buta dari Gua Hantu, Wiro Sableng, Dewi Ular, Gatotkaca, versi Saint Wayang, beberapa bersumber dari cerita komik dan pendekar dunia persilatan di Indonesia, menunjukkan terjadi dialektika kebudayaan didalamnya. 

Cosplay tidak selalu harus dilihat dari persoalan estetika, dapat pula diteliti secara mendalam melalui konteks kajian budaya, konsep industri, konsep kesejarahan, melihat hal semiotika, walaupun tidak akan lepas dari apa yang disebut sebagai prinsip-prinsip kebentukan visual. Lokalitas cosplay sebetulnya muncul dalam rangka melihat peluang-peluang hasil kebudayaan (komik, film, animasi, ataupun cerita heroisme) di Indonesia diwilayah lokal, nasional, dan internasional. Cosplay berdasarkan atas kesenangan dan hobi, dibuatkan komunitas, dan dieksekusi oleh industri, dan akhirnya dapat menjadi suatu hal fenomenal.

Pada sisi lain, di Jepang misalnya, dari segi perekonomian cosplay memberikan sumbangan sebesar 40 Miliar Yen, sehingga perannya perlu diperhitungkan. Ide pembuatan cosplay tidak selalu mengacu pada manga saja, melainkan juga meniru pada acara live action, film-film non Jepang. Keseriusan negara Jepang dalam hal cosplay dapat terlihat dengan dibuatnya konsep kota Akihabara pada tahun 2010, sebagai kota yang diperuntukkan bagi mereka penggemar dan ingin bercosplay dijalanan. Kehadiran tokoh publik dengan pakaian cosplay semakin memperkuat penyebaran dan perkembangannya pada masyarakat luas. Beberapa artis Korea yang populer di Indonesia-pun seringkali menampilkan kostum-kostum unik dengan gaya cosplay, sehingga kehadiran cosplay di ranah kebudayaan semakin populer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun