Jilbab dan Kerudung, bagi muslimah pasti sering mendengar kedua istilah tersebut. Istilah tersebut merujuk pada pakaian muslim wanita. Namun pada perjalanannya, saat ini telah dikenal istilah Hijab. Secara terminologi, IstilahHijab juga merujuk pada pakaian muslim wanita. Terlepas dari penggunaan ketiga istilah tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Saya ingin memberikan sedikit penjelasan bagaimana penggunaan ketiga istilah tersebut yang sebenarnya. Untuk mengkaji istilah tersebut, saya bersumber pada Al-Qur’an, dimana istilah tersebut berasal dari Al-Qur’an khususnya An-Nur : 31; QS. Al-ahzab : 59; QS.Al Ahzab: 53
Sekedar memberikan batasan masalah, tulisan ini tidak hendak meberikan hukum baru mengenai pakaian wanita yang Syar’ie, namun hanya sekedar memberikan ulasan tentang ketiga istilah tersebut. Karena untuk membahas mengenai hukum berpakaian untuk wanita muslim masih dalam perdebatan antara kewajiban menggunakan Jilbab atau tidak. Menurut saya, bagaimana bisa memberikan penjelasan hukum berpakaian bagi Muslimah jika penggunaan istilah saja masih terdapat kesalahan.
Dalam Al-qur’an ketiga istilah tersebut disebut dalam QS. An-Nur : 31, yang berbunyi :
وَقُللِلمُؤمِنٰتِيَغضُضنَمِنأَبصٰرِهِنَّوَيَحفَظنَفُروجَهُنَّوَلايُبدينَزينَتَهُنَّإِلّاماظَهَرَمِنهاۖوَليَضرِبنَبِخُمُرِهِنَّعَلىٰجُيوبِهِنَّۖوَلايُبدينَزينَتَهُنَّإِلّالِبُعولَتِهِنَّأَوءابائِهِنَّأَوءاباءِبُعولَتِهِنَّأَوأَبنائِهِنَّأَوأَبناءِبُعولَتِهِنَّأَوإِخوٰنِهِنَّأَوبَنىإِخوٰنِهِنَّأَوبَنىأَخَوٰتِهِنَّأَونِسائِهِنَّأَومامَلَكَتأَيمٰنُهُنَّأَوِالتّٰبِعينَغَيرِأُولِىالإِربَةِمِنَالرِّجالِأَوِالطِّفلِالَّذينَلَميَظهَرواعَلىٰعَورٰتِالنِّساءِۖوَلايَضرِبنَبِأَرجُلِهِنَّلِيُعلَمَمايُخفينَمِنزينَتِهِنَّۚوَتوبواإِلَىاللَّهِجَميعًاأَيُّهَالمُؤمِنونَلَعَلَّكُمتُفلِحونَ
“31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, …..”
Perlu diperhatikan kata tercetak tebal pada Ayat Al-Qur’an dan yang bercetak tebal miring pada terjemahannya. Disana terdapat kata khumur (bentuk jamak dari Khimar)dan juyub (bentuk jamak dari jayb). Kedua kata dalam bahasa Arab tersebut jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesa berarti Kerudung dan Kerah kerah / bagian atas pakaian (dada). Hal ini tidak bertentang dengan Azbabun Nuzul ayat tersebut :
Ibnu Abu Hatim mengetengahkan sebuah hadis melalui Muqatil yang menceritakan, "Kami telah menerima sebuah hadis dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan, bahwa Asma binti Martsad berada dalam kebun kurma miliknya. Banyak wanita-wanita yang mengunjunginya tanpa memakai kain sarung, sehingga kelihatan perhiasan yang ada pada kaki-kaki mereka dan dada mereka nampak menyembul begitu juga ujung-ujung rambut mereka." Asma berkata, "Alangkah buruknya pemandangan ini." Lalu Allah menurunkan firman-Nya, "Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman..." (Q.S. An Nur, 31). Ibnu Jarir mengetengahkan sebuah hadis melalui seorang Hadhrami bahwa ada seorang wanita yang memakai gelang kaki terbuat dari perak yang kemudian diberi keroncongan. Pada suatu hari ia lewat di hadapan suatu kumpulan kaum laki-laki, kemudian ia memukul-mukulkan kakinya ke tanah sehingga terdengarlah dengan nyaring suara beradunya gelang kaki dengan keroncongannya. Setelah itu Allah menurunkan firman-Nya, "Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka..." (Q.S. An Nur 31).
Dalam sejarah islam, kebudayaan di Arab memang sudah menggunakan khimar (red: kerudung) namun masalahnya adalah kerudung tersebut tidak sampai menutupi dada namun hanya menutupi sebagian rambut dan diurai kebelang, sehingga masih menampakkan baju bagian atas depan yang terbuka. Dimana bagian tersebut terdapat kera baju yang cukup terbuka. Untuk memudahkan menggambarkan kondisinya, kita bisa melihat serial Jinny oh Jinny atau searching beberapa konsep pakaian Arabian, pasti akan tahu konsep kerudung yang dimaksud. Padahal aurat wanita muslim adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Itulah masalah pergaulan sosial di Arab pada zaman Rasulullah yang melatar belakangi turunya ayat perintah menutup aurat.
Sedikit menjelaskan, sebenarnya jika kita mau mengkaji tentang Al-Qur’an lebih terperinci dan mendalam. Dalam artian tidak sekedar mengkaji sebatas membaca tulisan ataupun menterjemahkannya saja. Kita akan banyak menemukan pengetahuan baru mengenai kemuliaan Al-Qur’an. Pasalnya Al-Qur’an diturunkan tidak dalam satu waktu tertentu, namun cenderung berangsur-angsur sesuai permasalahan yang dihadapi Rasul saat mendakwahkan Islam. Dengan begitu kita sebagai Umat Islam yang menjadikan Al-Qur’an sebagai tuntunan hidup jauh lebih mengerti bagaimana teknis melaksanakan setiap perintah dan larangan dalam Al-Qur’an.
Bagaimana dengan Jilbab? istilah Jilbab dalam Al-Qur’an terdapat pada QS. Al-ahzab ayat 59 :
يٰأَيُّهَاالنَّبِىُّقُللِأَزوٰجِكَوَبَناتِكَوَنِساءِالمُؤمِنينَيُدنينَعَلَيهِنَّمِنجَلٰبيبِهِنَّۚذٰلِكَأَدنىٰأَنيُعرَفنَفَلايُؤذَينَۗوَكانَاللَّهُغَفورًارَحيمً
59. Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan Jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Pengertian Jilbab sendiri menurut Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bâri memaparkan tujuh pendapat seputar maknaJilbab. Di antaranya adalah kerudung (al-khimâr atau al-muqni’ah), sarung (al-izâr), baju luar atau mantel (ar-ridâ`), baju yang menutup baju yang lain (al-mulhifah), baju kurung (al-qomîsh), dan baju yang lebih lebar dari kerudung (tsaubun akbaru minal khimâr).
Sedangkan dalam kitab al-Mu’jam al-Wasîth yang artinya "Pakaian yang menutupi seluruh tubuh, ia mencakup khimâr (penutup kepala), juga mencakup pakaian yang dipakai di atas pakaian yang lainnya, seperti rangkepan (pakaian yang menutup pakaian pertama) yang biasa dipakai oleh perempuan”.
Dalam ayat tersebut perintah penggunaan Jilbab ditujukan pada isteri-isteri Rasul, anak anak perempuan Rasul dan isteri-isteri orang mukmin. Perintah ini dalam kajian kebahasaan jelas memiliki tujuan pesannya. Seperti yang dijelaskan dalam ayat tersebut “supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu tidak diganggu”, pertanyaannya dikenal sebagai siapa dan tidak diganggu oleh siapa? Untuk mengetahui hal itu kita bisa mencaritahu pada Asbabun Nuzul-nya.
“Imam Bukhari mengetengahkan sebuah hadis yang bersumber dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa Siti Saudah setelah ayat Hijab diturunkan, pergi keluar untuk suatu keperluan, ia adalah seorang wanita yang bertubuh besar sehingga pasti di kenal oleh orang yang telah mengetahuinya. Kemudian Umar melihatnya, lalu berkata, "Hai Saudah! Ingatlah demi Allah, kamu tidaklah samar bagi kami (sekalipun kamu sudah memakai Hijab), maka dalam keadaan bagaimana pun kamu keluar (aku tetap mengenalimu)" Selanjutnya Siti Aisyah r.a. meneruskan ceritanya, setelah itu Siti Saudah kembali. Sedangkan Rasulullah saw. pada waktu itu sedang berada di rumahku, beliau sedang menyantap makan malam, di tangannya terdapat keringat. Lalu Saudah masuk dan berkata kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku telah keluar untuk suatu keperluan, (di tengah jalan) Umar mengatakan demikian dan demikian kepadaku". Siti Aisyah kembali melanjutkan kisahnya, kemudian Allah menurunkan wahyu kepada Nabi saw. Setelah wahyu selesai, kulihat tangannya masih berkeringat dan beliau tidak mengusapnya. Lalu beliau berkata, "Sesungguhnya Allah telah memberi izin kepada kalian semua untuk keluar bila memang kalian mempunyai keperluan". Ibnu Saad di dalam kitab Thabaqat-nya mengetengahkan sebuah hadis melalui Abu Malik yang menceritakan bahwa istri-istri Nabi saw. selalu keluar di malam hari untuk sesuatu keperluan mereka. Segolongan orang-orang munafik menggoda mereka, sehingga membuat mereka sakit hati. Lalu mereka mengadukan hal tersebut kepada Nabi saw. Kemudian ditanyakan kepada orang-orang munafik, maka orang-orang munafik menjawab, "Sesungguhnya kami melakukan hal itu hanya dengan memakai isyarat (yakni bukan dengan perkataan)". Maka Allah swt. menurunkan firman-Nya, "Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, 'Hendaklah mereka mengulurkan Jilbabnya ke seluruh tubuh mereka'. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu...' (Q.S. Al Ahzab, 59)." Selanjutnya Ibnu Saad mengetengahkan hadis yang sama, hanya kali ini ia mengetengahkannya melalui Hasan dan Muhammad ibnu Kaab Al Qurazhi.”
Dalam konteks Arab semasa hidup Rasulullah, budaya Arab yang jahiliyah menyebabkan banyak sekali permasalahan sosial salah satunya masalah pergaulan sosial. Arab jahiliyah terdapat budaya dimana budak wanita bebas diperlakukan apa saja, dan pada masa awal dakwah Islam kebanyakan muslimah masih dari golongan budak. Penghormatan kepada kaum wanita pun oleh masyarakat Arab jahiliyah masih sangat rendah. Pada konteks Arab jahiliyah, bahkan seorang wanita yang keluar dengan menggunakan wewangian, pakaian yang bagus dianggap menawarkan diri untuk diganggu oleh laki-laki. Oleh karena itu Rasulullah saat itu sangat menjaga umatnya khususnya muslimah. Bahkan dalam urusan keluar rumah bagi seorang wanita sangat dibatasi, salah satu alasannya untuk menghindari hal-hal buruk yang terjadi pada wanita muslim. Memang islam mendapat perlakuan khusus karena ada perjanjian Madinah (Al-Ahzab adalah surat Madaniyah), termasuk tidak boleh memperlakukan wanita muslim layaknya wanita-wanita Madinah pada umumnya. Namun orang kafir selalu mencari-cari masalah dengan orang-orang islam, termasuk dalam kasus turunnya QS. Al-Ahzab : 59.
Jilbab juga merupakan pakaian bangsawan di masa Arab jahiliyah, seperti yang saya jelaskan bahwa Arab jahiliyah sudah mengenal kerudung. Dan budaya pergaulan sosial Arab Jahiliyah, wanita bangsawan tidak boleh diperlakukan layaknya wanita budak. Oleh karena itu Allah memberikan pemecahan masalah dimana Jilbab dapat dijadikan sebagai pembeda antara wanita muslim dan yang bukan agar bisa dikenali dan tidak diganggu oleh orang kafir. Sehingga Jilbabsecara fungsi dijadikan sebagai alat perlindungan dari gangguan orang-orang kafir kepada wanita Muslim.
Sedangkan Ayat Hijab terdapat pada QS. Al-Ahzab Ayat 53 :
53. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah Amat besar (dosanya) di sisi Allah.
Hijab (Bahasa Arab: حجاب ħijāb) adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti penghalang.
Hijab berasal dari akar kata h-j-b; bentuk verbalnya (fi’il) adalah hajaba, yang diterjemahkan dengan “menutup, menyendirikan, memasang tirai, menyembunyikan, membentuk pemisahan, hingga memakai topeng.” Sedangkan dalam konteks ayat tersebut penggunaan istilah Hijab merujuk pada tirai yang memisahkan satu ruang menjadi dua seperti yang dijelaskan dalam Asbabun Nuzul trunnya Ayat tersebut :
" Imam Thabrani mengetengahkan sebuah hadis dengan sanad yang sahih bersumber dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan, "Pada suatu hari aku sedang makan bersama dengan nabi dalam satu piring besar, tiba-tiba Umar lewat. Nabi saw. mengajaknya untuk ikut makan, lalu Umar pun makan bersama kami, ternyata ketika kami sedang makan jari telunjuk nabi mengenai jari telunjukku, lalu Nabi saw. mengaduh seraya berkata, 'Seandainya kalian taat, niscaya tidak ada mata yang melihat kalian'. Kemudian turunlah ayat Hijab." Ibnu Murdawaih mengetengahkan sebuah hadis melalui Ibnu Abbas r.a. yang menceritakan, "Pada suatu hari seorang lelaki masuk menemui Nabi saw. lalu lelaki itu duduk lama sekali. Nabi saw. telah keluar sebanyak tiga kali supaya lelaki itu keluar, tetapi ternyata lelaki itu tidak juga mau keluar. Lalu Umar masuk menemui Nabi saw., Umar melihat pada wajah nabi adanya tanda tidak senang. Maka Umar berkata kepada lelaki itu, 'Mungkjn kamu telah membuat nabi tidak senang'. Nabi berkata, 'Sungguh aku telah pergi sebanyak tiga kali supaya ia mengikutiku, akan tetapi ternyata ia tidak juga mau mengikutiku'. Umar berkata kepada Nabi saw., 'Wahai Rasulullah! alangkah baiknya seandainya engkau membuat Hijab, karena sesungguhnya istri-istrimu tidaklah seperti wanita-wanita biasa; dengan adanya kain penutup atau Hijab itu, maka hal itu lebih membuat bersih hati mereka'. Kemudian turunlah ayat Hijab.
Sehingga dapat disimpulkan Hijab Bukanlah Jilbab juga bukan Kerudung. Ketiganya secara fungsi untuk membatasi pergaulan sosial antara wanita muslim dan lelaki muslim dalam konteks yang berbeda juga merujuk pada benda yang berbeda. Istilah Hijab maupun Jilbab yang berkembang saat ini menurut saya kurang tepat untuk diberikan pada trend mode pakaian wanita muslim yang secara umum saat ini tidak sesuai dengan istilah Jilbab dan Hijab yang sebenarnya. Saya lebih menyarankan untuk menggunakan istilah busana muslim untuk wanita yang memakai pakaian sesuai syar’ie, menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan tidak terawang, dan juga tidak ketat, serta kerudungnya menutupi dada meskipun modis bukan dilingkarkan pada leher ataupun dimasukkan dalam pakaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H