Oleh: AM Sirojjudin
Vihara ini adalah vihara tertua yang berada di Provinsi Banten, bangunan ini dibangun sejak abad ke-16. Bangunan ini terletak di Kecamatan Kasemen, wilayah Banten Lama. Vihara ini tidak bisa dilepaskan dari sosok Sunan Gunung Djati yang memperistri Putri Ong Tien, putri seorang kaisar di Cina.
Saat Putri Ong Tien pergi ke Pulau Jawa demi menemui Sunan Gunung Djati, putri membawa banyak pengawal. Para pengawal tersebut terus memegang teguh keyakinannya, guna bertoleransi dan menghormati mereka maka dibuatkanlah vihara ini, yang terletak di Desa Dermayon, dekat Masjid Agung Banten pada tahun 1542. Namun, vihara ini dipindahkan ke kawasan Pamarican, 15 km arah utara dari kota Serang pada tahun 1774.
Ada versi lain menyebutkan bahwa vihara ini dibangun pada tahun 1652 saat Kerajaan Banten berada pada masa keemasan di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa.
Vihara ini memiliki nama lain yaitu Klenteng Tri Darma. Disebut seperti itu karena vihara ini melayani tiga kepercayaan sekaligus, yaitu Kong Hu Cu, Taoisme, dan Buddha. Walaupun memang diperuntukkan bagi tiga kepercayaan tersebut, pengunjung beragama apapun boleh masuk ke dalamnya.
Bagunan ini memiliki gerbang dengan atap berhiaskan dua naga memperebutkan mustika Sang Penerang (Matahari) sebagai penyambut pengunjung di pintu masuk sebelum pengunjung masuk lebih ke dalam kelenteng Tri Darma ini. Sebelum ke altar utama terdapat lilin merah besar serta pagoda.
Bangunan vihara ini memiliki luas mencapai 10 hektar, dengan altar Dewi Kwan Im sebagai altar utama. Di altar ini terdapat patung Dewi Kwan Im yang berusia setua bangunan ini, walaupun sempat terbakar pada tahun 2009 dan sekarang digantikan oleh patung Dewi Kwan Im yang baru, namun yang lama tetap ada di altar tersebut ditutupi selendang. Di sisi samping kanan dan kiri terdapat patung dewa-dewa yang berjumlah 16 dan tiang batu berukir naga.
Vihara ini juga memiliki ukiran yang menceritakan kejayaan Banten Lama saat menjadi kota pelabuhan yang ramai. Selain itu, ukiran-ukiran ini menjadi saksi bisu kejadian tsunami karena erupsi Gunung Krakatau pada tahun 1883. Bahkan, vihara ini mencatat kejadian tersebut dan dibuatlah ukiran di salah satu dinding vihara. Selain itu juga dibuat pula manuskrip tiga bahasa, Indonesia, Cina, dan Belanda.
Masyarakat sekitar berlindung di vihara ini, dan mereka selamat dari bencana tersebut. Maka Vihara Avalokitesvara juga terkenal sebagai vihara keselamatan. Banyak orang yang datang berdoa meminta keselamatan di tempat ini. Walaupun pernah mengalami musibah, bentuk dan isi yang ada di dalam vihara masih dijaga keasliannya oleh pihak pengelola. Bahkan bangunan vihara ini masih terlihat kokoh layaknya bangunan baru dengan warna merahnya yang khas.
Di bagian belakang terdapat aula yang berisi patung Buddha Gautama, aula ini dikhususkan untuk pemujaan Buddha. Selain itu, vihara ini memiliki perpustakaan serta tempat penginapan.
Untuk masyarakat Banten sendiri, vihara ini bukan hanya tempat peribadatan dan bangunan bersejarah  saja, namun sebagai simbol bagaimana masyarakat terdahulu menjaga keharmonisan dalam menghadapi perbedaan. Banten yang mayoritas muslim tetap menjaga keharmonisan ini hingga sekarang dengan baik. Tidak jarang penduduk yang tinggal di sekitar kawasan Vihara Avalokitesvara ikut terlibat dan membantu ketika ada acara dan perayaan di vihara ini, seperti perayaan ulang tahun Buddha, Imlek, Cap Go Meh dan sebagainya. (Sumber: Slaras.id)