Kelahiran sastra Indonesia merupakan bagian dari sejarah sastra yang terjadi di Indonesia tentunya. Hingga saat ini, penentuan awal mula lahirnya sastra Indonesia dan standar suatu karya yang disebut sastra Indonesia masih menjadi perdebatan.Â
Pengamat dan akademisi sastra (humaniora) memiliki cara pandang yang berbeda terhadap penciptaan sastra Indonesia selama ini, sehingga melahirkan berbagai sudut pandang. Hal ini disebabkan oleh perbedaan persepsi tentang ciri-ciri sastra Indonesia, serta tidak adanya konsensus yang dapat digunakan sebagai jawaban atas topik ini.
Sastra pada dasarnya merupakan fenomena universal yang tidak selalu dialami dengan cara yang sama, oleh karena itu interpretasi bergantung pada cara pandang khalayak dalam memahami sebuah karya sastra.Â
Lebih jauh lagi, sastra bersifat intersubjektif, artinya selama suatu pendapat dapat dijelaskan dan diterima, dianggap "benar". Akibatnya, pembentukan sejarah sastra yang panjang dan penentuan asal usul sastra Indonesia masih sulit dilakukan hingga saat ini.
Secara sederhana, sastra Indonesia adalah sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia, sehingga menghasilkan banyak puisi, cerita pendek, novel, roman, dan sandiwara yang ditulis dalam bahasa tersebut.Â
Namun definisi yang singkat dan mendasar ini dapat ditentang, dengan argumentasi bahwa sastra Indonesia mengacu pada semua karya sastra yang muncul di Indonesia hingga saat ini. Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Toraja, Lombok, dan sebagainya telah melahirkan karya sastra daerah.Â
Berbagai sastra daerah juga dapat dianggap sastra Indonesia dalam konteks pertumbuhan dan pembangunan nasional daerah, dengan konotasi sastra milik bangsa Indonesia. Sastra daerah jelas merupakan salah satu aspek kebudayaan nasional bila dikaitkan dengan upaya mewujudkan kebudayaan nasional.
Sastra Indonesia merupakan sastra (kesusastraan) dalam bahasa Indonesia yang berkembang pesat sejak awal abad ke-20, dengan sastra daerah (Melayu, Sunda, Jawa, Bali, dan lain-lain) menjadi semakin penting. Ribuan puisi, ratusan cerita pendek (cerpen), ratusan novel atau roman, dan puluhan drama sastra telah diterbitkan di surat kabar, majalah, dan buku sebagai hasil dari kerjasama ini. Semuanya merupakan khazanah pemikiran budaya bangsa yang telah penulis update dengan semangat zaman dan gaya pengucapannya masing-masing.
sedangkan pendapat beberapa ahli mengenai Kelahiran Sastra Indonesia yaitu sebagai berikut:
- Umar Junus
Dalam karangannya yang dimuat di majalah Medan Ilmu Pengetahuan, Umar Junus menganalisis kelahiran sastra Indonesia modern (1960). Dia mengklaim bahwa sastra muncul setelah munculnya bahasa. "Sastra X hanya ada setelah bahasa X," katanya, menyiratkan bahwa "sastra Indonesia hanya ada setelah bahasa Indonesia." Umar Junus juga mengklaim bahwa "sastra Indonesia baru ada sejak 28 Oktober 1928" karena bahasa Indonesia baru ada pada tahun 1928 (dengan Sumpah Pemuda).Menurut Umar Junus, karya-karya yang ditulis sebelum tahun 1928 yang biasa dikategorikan sebagai karya sastra Kelas '20 atau golongan Balai Pustaka, tidak dapat ditempatkan "ke dalam golongan sastra Indonesia", tetapi hanya dapat digolongkan "sebagai hasil karya sastra Melayu" Baru/Modern". Karya-karya tersebut "sangat bertentangan dengan fitrah" yang dikaitkan dengan nama Indonesia, menurut Umar Junus. Dalam karangannya yang dimuat di majalah Medan Ilmu Pengetahuan, Umar Junus menganalisis kelahiran sastra Indonesia modern (1960). Dia mengklaim bahwa sastra muncul setelah munculnya bahasa. "Sastra X hanya ada setelah bahasa X," katanya, menyiratkan bahwa "sastra Indonesia hanya ada setelah bahasa Indonesia." Umar Junus juga mengklaim bahwa "sastra Indonesia baru ada sejak 28 Oktober 1928" karena bahasa Indonesia baru ada pada tahun 1928 (dengan Sumpah Pemuda). Menurut Umar Junus, karya-karya yang ditulis sebelum tahun 1928 yang biasa dikategorikan sebagai karya sastra Kelas '20 atau golongan Balai Pustaka, tidak dapat ditempatkan "ke dalam golongan sastra Indonesia", tetapi hanya dapat digolongkan "sebagai hasil karya sastra Melayu" Baru/Modern". Karya-karya tersebut "sangat bertentangan dengan fitrah" yang dikaitkan dengan nama Indonesia, menurut Umar Junus. - Ajip RosidiÂ
Pemikiran Ajip Rosidi tentang asal mula tulisan Indonesia dapat kita baca dalam bukunya "Kapan Sastra Indonesia Lahir" yang terbit tahun 2004. (1985). Sastra, menurut Ajip, tidak bisa eksis tanpa bahasa. Namun, suatu bahasa harus sudah ada dan digunakan sebelum dapat diakui secara hukum. Akibatnya, Ajip menentang pembentukan bahasa yang akan menjadi landasan bagi perkembangan sastra (dalam hal ini sastra Indonesia). Ajip, di sisi lain, merasa kesadaran nasional harus menjadi kriteria. Ajip Rosidi mengatakan bahwa lahirnya kesusastraan modern yaitu pada tahun 1920/1921. Bukan karena Azab dan Sengsara terbit pada tahun itu, juga bukan karena Siti Nurbaya lahir pada tahun itu, melainkan karena para pemuda Indonesia (Muhammad Yamin, Mohammad Hatta, Sanusi Pane, dan lain-lain) mengumumkan puisi-puisi mereka yang bercorak nasional di majalah  Jong Sumatra (diterbitkan oleh organisasi Jong Sumatra). Dan Ajip memilih 1922 karena Muhammad Yamin menerbitkan buku puisi berjudul NKRI pada tahun itu. Menurut Ajip, kumpulan puisi ini merepresentasikan gaya/semangat kebangsaan yang tidak ada/muncul pada pengarang sebelumnya. - Slamet Mulyana
Slamet Mulyana mengamati munculnya sastra Indonesia dari perspektif yang berbeda. Dari sisi kelahiran suatu negara, ia menganggap Indonesia sebagai salah satu dari banyak negara di dunia. Pada tahun 1945, negara Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan. Saat itu, sebuah negara baru, Republik Indonesia, didirikan di planet kita, bebas dari penjajahan Belanda. Secara resmi, bahasa Indonesia juga digunakan/diakui sebagai bahasa nasional, dengan UUD 1945 mengukuhkannya sebagai konstitusi negara. Itulah sebabnya, setelah memiliki bahasa resmi sebagai bahasa negara, sastra Indonesia hanya ada pada saat kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, sastra adalah sastra Melayu, bukan sastra Indonesia.
Balai Pustaka merupakan awal dari lahirnya sastra Indonesia pada masa penjajahan setelah Belanda yaitu pada kependudukan jepang tahun  1942-1945. Meski kini dikenal sebagai Gunseikanbo Kokumin Tosyokyoku yang artinya Perpustakaan Rakyat Biru Pemerintahan Militer Jepang, Balai Pustaka masih tetap ada.
Kehadiran Balai Pustaka telah menginspirasi para penulis untuk membagikan karya mereka yang sebelumnya telah ditulis dalam bahasa daerah sebelum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai pernyataan kebanggaan menjadi orang Indonesia.Â