Seperti biasa, kecenderunganku setelah seharian beraktifitas agenda selanjutnya adalah menikmati kebersamaan dengan teman-teman diwarung kopi, namun pada malam ini sedikit berbeda karena diantara anggota kelompok kita ngopi sebagian terdiri dari teman luar kampus, ada yang dari UBAYA, UPN Surabaya, PETRA Surabaya dan diantara kita pula punya latar belakang agama yang berbeda. Malam itu kita mengobrol di teras warung kopi langganan kami. Kaitannya pada saat itu awalnya aku hanya berniat ngopi dan bercanda ria saja namun kenyataan yang terjadi itu berbeda.
Terdapat perbincangan ringan yang mengarah pada keseriusan, saling tukar pendapat pada kesempatan itu dibangun sekitar lima belas menit setelah saya selesai memesankan kopi dan kemudian duduk dimeja warung kopi tersebut dan perbincangan itu berlangsung kurang lebih dua jam. Hal yang kami perbincangkan sebetulnya tidak jauh akan pandangan kita pada sebuah konteks dan fenomena sosial yang sering menjadi rujukan oleh masyarakat setempat sesuai dengan kepentingannya. Perbincangan sederhana itu terkait konsep masing-masing tentang Kiai.
Dari perbincangan itu kami mendapati persamaan yang menyatakan bahwa esensinya Kiai termasuk struktur masyarakat dalam konteks agama, karena agamalah masyarakat sekitar mengenalnya dan memanggil dirinya sebagai Kiai. Walaupun dalam perkembangannya Kiai menjadi rujukan perbagai kepentingan sosial, positik, pendidikan, dll.
Baik yang dari kampus UBAYA, PETRA, UPN, dan lainnya punya pemahaman yang sama ketika memandang Kiai sebagai orang yang memang dibentuk oleh lapisan masyarakat yang notabane beragama islam. selebihnya pandangan yang sma punya terkait seorang Kiai dalam artian yang metafisis, dalam hal ini Kiai mengandung sifat yang membedakan dengan masyarakat lain karena Kiai punya kelebihan pengetahuan tentang agama dibandingkan dengan orang lain sekitarnya, sifat tersebut diberikan Tuhan kepadanya namun pemberian Rahmat yang datangnya dari Tuhan tersebut tidak serta-merta murni karena ia punya garis keturunan darah biru, melainkan banyak varian yang bisa mengantarnya menjadi seorang Kiai, salah satu variannya karena pengetahuan ilmu agama yang tinggi, sesuai dengan salah satu hadis, Al Ilmu bit-Ata’allum Labin An-Nasabi (Ilmu itu bisa didapatkan dengan cara belajar bukan karena garis keturunan). Kalimat ini disampaikanoleh teman yang dari fakultas ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya yang sekarang berganti UIN Sunan Ampel.
Makna setelah perjumpaan
Mengindikasikan bahwa membahas sesuatu yang sifatnya ilmiah meski dengan backround konsentrasi keilmuan dan pemahaman agama yang berbeda namun bila itu dilakukan dengan penuh kesadaran maka akan muncul saling menghormati satu sama lain. Saya sendiri yang sedari awal terlibat aktif dalam perbincangan itu sama sekali tidak pernah membedakan diantara kita yang punya latar belakang kampus bahkan agamapun yang berbeda. Melainkan persamaan diantara kita yang terjalin sampai saat ini masih tetap terjalin meski dalam kondisi tertentu. Dan dari perbedaan tersebut juga melahirkan persamaan yang selalu kami jadikan sebagai titik pandang untuk melakukan pengabdian kemanusiaan.
Mungkin karena inilah sikap keterbukaan, saling pengertian, dan empati menjadi bagian dari hubungan kami, karena bagaimanapun unsur yang mempersatukan kami jauh lebih banyak dari apa yang ingin memisahkan.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H