Pendidikan menurut al-Ghazali adalah sebuah usaha untuk menghilangkan akhlak yang buruk dan menanamkan akhlak yang baik. Dengan demikian, pendidikan  merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan secara sistematis untuk melahirkan perubahan-perubahan yang progresif pada tingkah laku manusia.Â
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa al-Ghazali menitikberatkan pada perilaku manusia yang sesuai dengan ajaran Islam, sehingga di dalam melakukan suatu proses diperlukan sesuatu yang dapat diajarkan secara indoktrinatif atau sesuatu yang dapat dijadikan mata pelajaran.
Sedangkan tujuan pendidikan yang diinginkan oleh al-Ghazali adalah Mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah dan kesempurnaan manusia untuk mencapai tngkat kebahagian di dunia dan akhirat. Pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan, yang dalam hal ini lebih dikhususkan pada pendidikan Islam adalah untuk menonjolkan karakteristik religius moralitas dengan tidak mengabaikan urusan keduniaan.Â
Sehingga hal ini akan menjadikan sistem pendidikan berjalan secara seimbang dan memberikan hasil yang sempurna berupa terdidiknya insan yang kaffah.Al-Ghazali adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan.Â
Oleh karena itu, ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan melebihi segala-galanya. Menguasai ilmu baginya termasuk tujuan pendidikan dengan melihat nilai-nilai yang dikandungnya dan karena ilmu itu merupakan jalan yang akan mengantar-kan kepada kebahagiaan di akhirat serta sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Bagi al-Ghazali, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat.Â
Karenanya, sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas. Di antara tujuan pendidikan yang dimaksud al-Ghazali adalah sebagai berikut:
a. Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah.
b. Mengali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
c. Mewujudkan profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
d. Membentuk manusia yang berakhlak mulia, seuci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
e. Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia
Al-Ghazali mendefinisikan kecerdasan spiritual menggunakan istilah Qalb yang merupakan hakikat hakiki dari manusia, karena sifat dan keadaannya yang bisa menerima, berkemampuan, berpikir, mengenal, dan beramal. Hati merupakan tempat kebaikan, seperti kesalehan, ketegasan, kelembutan, keluasan, perdamaian, cinta, dan taubat. Secara esensi, hati sesungguhnya lebih tertarik kepada Tuhan dan hanya mencari kenikmatan pada Tuhan.Â
Hati dalam pengertian spiritual ini, begitu sentral dalam kehidupan manusia. Hati secara langsung bereaksi atas setiap pikiran tindakan manusia. Karena itu, setiap perkataan dan tindakan baik akan memperlembut hati.Di dalam makna yang kedua inilah pengertian hati yang menjadi pusat kecerdasan spiritual manusia sebagaimana hati adalah lathifah (sesuatu yang amat halus dan lembut, tidak kasat mata, tak berupa dan tak dapat diraba) bersifat rabbaniyah, ruhaniyah, dan merupakan inti manusia. Hati yang dimaksud adalah hakikat spiritual yang dimiliki setiap orang bukan hati dalam pengertian fisik sebagaimana makna pertama yang dikemukakan al-Ghazali.Â
Hati inilah yang mempunyai makna sebagai sumber cahaya batin, inspirasi, kreatifitas, dan belas kasih. Karena itu, orang yang hatinya hidup, selalu terjaga, dan dilimpahi cahaya adalah manusia sejati yang hidupnya bermakna dan berkualitas.Kecerdasan spiritual mempunyai visi (tujuan) yang bersifat umum dan khusus. Tujuan umumnya adalah pembentukan keharmonisan hubungan jiwa manusia dengan Allah Swt, dengan sesama manusia serta masyarakat dan lingkungan.Â
Sedangkan tujuan khususnya adalah pembentukan jiwa manusia yang 'alim (berilmu), mukmin, abid (suka beribadat), muqarrib (suka mendekatkan diri kepada Allah Swt), mau beramal, berdoa, sadar akan keterbatasannya, serta berkemampuan menjadikan seluruh aktivitas hidupnya bernilai ibadah kepada Allah Swt.