Jarum jam menunjukkan angka 03.00 WIB. Hawa dingin dan lelahnya badan membuat saya enggan untuk membuka kelopak mata ini yang terasa sangat berat. Namun, bayangan indah akan Golden Sunrise membuat saya sepenuhnya terjaga. Hari itu, tepatnya Kamis 26 Desember 2013, saya dan teman-teman saya sudah berencana untuk mendaki Puncak Sikunir demi melihat momen terbangunnya sang surya. Sekiranya pukul 04.00 WIB, kami berangkat dari Wonosobo menuju Sikunir dengan menumpangi sebuah elf. Pukul 04.30 WIB, kami tiba di Desa Sembungan, tempat pemberhentian terakhir untuk kendaraan transportasi. Kami harus turun dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Perjalanan yang sesungguhnya barulah dimulai. Hawa dingin mulai terasa menusuk kulit kami. Suasana yang masih gelap gulita menjadi pelengkap pendakian kami melewati setapak jalan yang terjal dan sangat licin. Berbekal tekad dan semangat menggebu untuk melihat sang surya, kami kuatkan kaki ini untuk terus melangkah. Tak jarang beberapa dari kami ada yang tergelincir. Tapi, selalu ada tangan seorang teman yang siaga menolong. Dan, tibalah kami di ketinggian 2.350 mdpl, Puncak Sikunir. Pemandangan yang terhampar di depan mata sangatlah indah. Lembah yang masih terlihat gelap hanya berhiaskan kerlip kecil dari rumah warga nun jauh di bawah sana. Kami mencari spot yang bagus untuk memotret dan tentunya untuk menyaksikan terbitnya sang surya. Sudah banyak pendaki lain yang tiba lebih dulu daripada kami. Ini membuktikan bahwa Puncak Sikunir tidak kalah terkenal keidahannya bila dibandingkan dengan gunung lainnya. Perlahan tapi pasti, semburat jingga mulai terlihat. Lautan awan berwarna keemasan benar-benar membuat saya terpana. Pengalaman pertama saya mendaki gunung terbayar sudah. The Golden Sunrise was in front of my eyes.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H