Pemilihan umum (Pemilu) merupakan salah satu pilar utama demokrasi yang mencerminkan keterlibatan rakyat dalam menentukan arah pemerintahan. Di Indonesia, pemilu bukan hanya menjadi ajang untuk memilih wakil rakyat dan pemimpin negara, tetapi juga menjadi cerminan dinamika politik yang mencakup berbagai isu, termasuk praktik politik dinasti. Dalam konteks Pemilu 2024, politik dinasti kembali menjadi sorotan, baik sebagai tantangan demokrasi maupun sebagai fenomena yang menggambarkan relasi kekuasaan, jaringan politik, dan harapan masyarakat akan perubahan. Politik dinasti, yang merujuk pada pewarisan kekuasaan politik di antara anggota keluarga tertentu, sering kali dikritik karena dianggap bertentangan dengan prinsip meritokrasi dan demokrasi yang sejati.Â
"Politik dinasti sering kali dianggap sebagai ancaman bagi prinsip demokrasi karena mendekati bentuk oligarki, namun ada yang memandangnya sebagai peluang untuk kesinambungan kebijakan," ujar Nur Rahmah, peneliti politik dinasti di Indonesia.
Data menunjukkan bahwa politik dinasti di Indonesia kerap mendominasi proses elektoral, terutama di daerah-daerah dengan tingkat partisipasi politik yang tinggi tetapi minim pendidikan politik yang merata. Pada Pemilu 2024, politik dinasti menjadi semakin relevan dalam pembicaraan politik nasional. Banyak calon legislatif maupun kepala daerah memiliki keterkaitan dengan tokoh politik yang sebelumnya menjabat. Hal ini menimbulkan perdebatan yang tajam antara mereka yang menganggap politik dinasti sebagai "tangan" yang terus memegang kendali kekuasaan dan mereka yang memandangnya sebagai "harapan" untuk stabilitas dan kesinambungan pembangunan. Di satu sisi, politik dinasti dapat membawa keuntungan berupa kesinambungan kebijakan dan jaringan yang kuat. (Wijayanto et al., 2020) Namun, di sisi lain, praktik ini sering dikritik karena memicu potensi korupsi, konflik kepentingan, dan menurunkan kualitas demokrasi. Dalam kondisi ini, politik dinasti tidak hanya menjadi strategi bagi elite politik untuk mempertahankan kekuasaan, tetapi juga menjadi simbol kepercayaan masyarakat terhadap figur tertentu yang dianggap mampu membawa perubahan.
Politik dinasti merupakan salah satu fenomena yang menonjol dalam lanskap politik Indonesia, di mana pola kekuasaan diwariskan dalam lingkaran keluarga. Fenomena ini sering kali melibatkan anak, pasangan, atau kerabat dekat dari tokoh politik yang telah menduduki jabatan strategis. Hal ini tampak nyata dalam berbagai kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada), di mana kandidat sering berasal dari keluarga elite politik tertentu. Dalam konteks Pemilu 2024, sejumlah politisi ternama juga telah mencalonkan anggota keluarga mereka untuk menduduki posisi strategis di lembaga legislatif maupun eksekutif. Realitas ini mengindikasikan bahwa politik dinasti tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang pesat di Indonesia. (Maslamah & Yusdani, 2022) Secara historis, fenomena politik dinasti bukanlah hal baru. Akar politik dinasti dapat ditelusuri sejak era Orde Baru, di mana kekuasaan cenderung terpusat pada segelintir kelompok elite.Â
Namun, pascareformasi, desentralisasi kekuasaan dan penerapan otonomi daerah justru memperluas peluang bagi dinasti politik untuk memperkokoh pengaruh mereka, terutama di tingkat lokal. Dengan adanya otonomi daerah, keluarga politik memiliki akses lebih besar untuk mengamankan posisi strategis dalam pemerintahan, baik melalui jalur elektoral maupun penunjukan politik. Keberlanjutan politik dinasti di Indonesia didukung oleh beberapa faktor utama. Pertama, kapital sosial dan ekonomi yang dimiliki keluarga politik menjadi modal penting. Dengan jaringan yang luas, pengaruh kuat di masyarakat, dan kemampuan finansial yang besar, keluarga politik sering kali memiliki keunggulan dalam mendanai kampanye dan memenangkan dukungan publik. Kedua, kekosongan kaderisasi dalam partai politik juga memberikan peluang besar bagi anggota keluarga politisi untuk melanjutkan kekuasaan.Â
(Fitri et al., 2019) Banyak partai politik di Indonesia kurang memberikan perhatian serius pada pengembangan kader-kader baru yang kompeten, sehingga kekosongan ini diisi oleh individu yang berasal dari lingkaran keluarga elite. Ketiga, budaya patronase yang masih mengakar kuat di masyarakat Indonesia turut menjadi faktor pendukung. Dalam konteks budaya patron-klien, pemilih sering kali lebih memilih kandidat berdasarkan hubungan personal dan janji-janji praktis daripada berdasarkan kompetensi dan program kerja. Namun, fenomena politik dinasti membawa dampak yang ambivalen terhadap demokrasi di Indonesia. Di satu sisi, keberadaan dinasti politik dapat memberikan keberlanjutan pada kebijakan yang telah dirancang oleh pendahulunya dan memperkuat stabilitas politik dengan mencegah fragmentasi kekuasaan yang berlebihan. Akan tetapi, dampak negatifnya tidak dapat diabaikan.
 Dominasi keluarga tertentu dalam politik cenderung mereduksi representasi publik, mengurangi peluang bagi individu atau kelompok lain yang berpotensi untuk berpartisipasi dalam politik. Selain itu, politik dinasti juga berisiko menciptakan konflik kepentingan yang dapat mengarah pada praktik korupsi dan nepotisme, yang pada gilirannya merusak tata kelola pemerintahan. Lebih jauh lagi, politik dinasti dapat mengakibatkan penurunan kualitas demokrasi karena mendekati bentuk oligarki, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi deliberatif yang inklusif dan partisipatif. Dalam menghadapi Pemilu 2024, masyarakat memiliki harapan besar untuk meminimalisasi dampak buruk politik dinasti. Salah satu langkah penting adalah meningkatkan literasi politik masyarakat agar pemilih lebih kritis dalam menentukan pilihan berdasarkan kapabilitas dan program kerja kandidat, bukan semata-mata berdasarkan faktor keluarga atau popularitas.Â
Selain itu, reformasi partai politik juga menjadi kebutuhan mendesak. (Novendra Bimantara, 2018) Partai politik harus mampu membangun sistem kaderisasi yang inklusif dan memberikan kesempatan lebih besar kepada individu berbakat di luar lingkaran keluarga elite. Regulasi yang lebih tegas juga diperlukan, seperti aturan pembatasan pencalonan bagi anggota keluarga petahana dalam wilayah yang sama untuk mencegah monopoli kekuasaan. Media massa dan masyarakat sipil pun memiliki peran strategis dalam mengawasi dan mengkritisi politik dinasti. Dengan kampanye publik yang menyuarakan pentingnya demokrasi yang inklusif dan akuntabel, masyarakat dapat memperkuat tekanan terhadap praktik politik dinasti yang tidak sehat.
Pemilu 2024 memberikan tantangan sekaligus harapan bagi demokrasi Indonesia. Praktik politik dinasti yang telah lama menjadi sorotan memerlukan upaya kolektif untuk meminimalkan dampak negatifnya. Dengan langkah-langkah seperti peningkatan literasi politik dan reformasi partai, Indonesia dapat menuju demokrasi yang lebih inklusif dan berkeadilan, serta membuka ruang bagi generasi pemimpin baru yang kompeten dan berdedikasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H