Banyak berita berspekulasi terkait awal mula pecahnya demontsrasi di Hongkong yang rutin dan masif terjadi dalam setahun terakhir ini. Demonstrasi besar dan berlarut-larut di hongkong dipicu oleh seorang Pria Hongkong yang membunuh pacarnya yang juga orang Hongkong di Taiwan. pria itu bernama Chan Tong-kai, berumur 20 tahun.
Dia telah dicari-cari pihak Taiwan karena membunuh pacarnya yang saat itu tengah hamil. Pembunuhan berlangsung saat liburan pada Februari 2018.
Usai membunuh, pria itu kemudian pulang ke Hong Kong. Polisi Taiwan yang merupakan bagian dari Republik Rakyat China tentu tidak bisa mengejarnya. Soalnya, tak ada perjanjian ekstradisi antara HongKong dan Taiwan. Kasus ini memicu proposal pemerintah HongKong yang kontroversial.
Pemerintah HongKong yang pro-RRC itu menggulirkan rancangan undang-undang ekstradisi yang bakal memperbolehkan HongKong menyerahkan terduga pelaku kejahatan ke wilayah lainnya, termasuk ke wilayah RRC yang otoriter itu. Maka pecahlah rangkaian protes di Hong Kong menentang RUU itu.
Bola salju demonstrasi terus bergulir demi demokrasi dan akuntabilitas polisi. Sedangkan di Indonesia, demonstrasi besar-besaran yang terjadi pada 23 dan 24 September 2019 di berbagai daerah dimulai dengan adanya upaya DPR dan Pemerintah merevisi UU KPK. Berhasilnya DPR dan pemerintah mengesahkan revisi UU KPK. Gerakan tersebut terus berlanjut, ketika DPR berupaya lagi untuk mengesahkan RUU lainnya.
Gelombang demonstrasi serentak 24 September 2019 di seluruh daerah Indonesia dan berpusat di Gedung DPR, Jakarta. Upaya DPR periode 2014-2019 melakukan revisi UU KPK dan mengesahkan RUU lainnya dinilai oleh demonstran tergesa-gesa. Padahal, revisi dan pengesahan RUU tersebut tidak bisa dilakukan secara cepat, karena ini terkait dengan kepentingan orang banyak. Tugas ini seharusnya masuk jadi pekerjaan anggota DPR periode 2019-2024, yang butuh pertimbangan cermat dan tepat. Namun jika melihat perbandingan kedua demonstrasi di indonesia dengan HongKong terdapat persamaan dan perbedaan dari pelaku, tuntutan-tuntutan hingga pelaksanaannya.
Persamaan nya kedua aksi demonstrasi sama-sama menolak kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah, dari perjuangan tersebut akhirnya pengesahan RUU yg direncanakan sama-sama ditunda dalam sidang yang dilaksanakan oleh parlemen dan terakhir Mayoritas dari kegiatan aksi demonstrasi di kedua negara sama-sama diikuti oleh kalangan pelajar dan mahasiswa. Namun perbedaan nya, simbol-simbol yang digunakan para pengiat aksi berbeda misalnya di Hongkong mereka menggunakan pakaiannya serba hitam dan payung namun di indonesia Mayoritas menggunakan Almamater kampus, bendera dan identitas organisasi dan kominitas yang dimiliki. Kedua, demonstrasi di Hongkong masih terus berlangsung hingga saat ini namun di Indonesia sendiri sudah terhenti karena besar harapan dari para penggiat aksi dengan dewan perwakilan rakyat yang baru saja dilantik..
Demonstrasi yang terjadi di kedua negara lahir dari sebuah sikap dan respon. Sudah seharusnya hal ini dijadikan ALARM untuk negara agar perkembangan teknologi (internet) tidak menutup ruang demokrasi  Dan negara seharusnya hadir untuk mendengarkan aspirasi bukan malah melakukan sikap-sikap represif para aparat yang dilakukan kepada demonstrasi.
Sebuah hak asasi manusia dalam hal ini 'rakyat' pada sistem demokrasi sudah seharusnya dilindungi oleh suatu negara..Â
*NOFA KSATRIA, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H