Sejarah mencatat bahwa pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), wilayah kekuasaan Majapahit meliputi seluruh Indonesia, bahkan sampai ke Siam, Birma, Kamboja, Amman, India, dan Cina. Sebelumnya, pada abad ke-7, Kerajaan Sriwijaya, yang berpusat di Sungai Kapur, Riau, pernah memiliki daerah kekuasaan meliputi Tulang Bawang (Lampung), Pulau Bangka (dekat Palembang), Jambi (Sungai Batanghari), Kerajaan Kaling dan Mataram (Jawa Tengah), serta Kedah (Semenanjung Melayu/Malaysia), hingga Tanah Genting Kra (Malaysia). Dalam perkembangannya, Sriwijaya menjadi pusat perdagangan terbesar di Asia Tenggara, bahkan hingga di Cina dan India. Sriwijaya juga menjadi pusat dan pintu perdagangan antara Indonesia dengan Barat. Kedua kerajaan tersebut memiliki kesamaan: meraih kejayaan dengan mengembangkan wilayah perairannya yang luas dan memiliki armada laut yang kuat.
Kondisi geografis Sriwijaya dan Majapahit sebenarnya tidak berbeda dengan kondisi negara kita saat ini. Ya, Indonesia adalah negara maritim terbesar di dunia dengan dua per tiga luas wilayah (atau sekitar 5,8 juta km2) berupa lautan dan terdiri dari sekitar 17.504 pulau yang dikelilingi oleh garis pantai sepanjang 81.000 km. Indonesia menjadi negara terkaya di dunia dalam hal keragaman hayati (biodiversity). Sumber daya pesisir dan laut Indonesia memiliki arti penting bagi dunia internasional, mengingat spesies flora dan fauna yang ditemukan di perairan tropis Indonesia lebih banyak daripada kawasan manapun di dunia. Sekitar 24% dari produksi ekonomi nasional berasal dari industri-industri berbasis wilayah pesisir, termasuk produksi gas dan minyak, penangkapan ikan, pariwisata dan transportasi. Beragam ekosistem laut dan pesisir yang ada menyediakan sumber daya lestari bagi sebagian besar rakyat Indonesia.
Kepulauan Indonesia merupakan pertemuan lempeng Eurasian, lempeng Indo-Australian dan lempeng Pasifik. Oleh karena itu laut Indonesia mempunyai mekanisme menciptakan dan menjaga sea-surface temperature karena topografinya yang sangat kompleks. Selain itu, laut juga mampu mereduksi proses pemanasan global dan perubahan iklim melalui mekanisme proses transpor karbon dari udara ke tempat dan bentuk lain ke dalam laut, antar lain melalui fotosintesa fitoplankton dan tanaman laut makro serta deposit karbon di dalam sedimen dasar laut dan terumbu karang.
Potensi Energi
Air laut dan dinamikanya juga memiliki potensi energi luar biasa sebagai sumber energi alternatif di masa depan. Keberadaan potensi energi ini akan menjadi semakin signifikan ketika energi yang bersumber dari BBM (bahan bakar minyak) semakin menipis. Jenis energi kelautan yang berpotensi untuk dikembangkan adalah ocean thermal energy (OTEC), energi kinetik dari gelombang, pasang surut dan arus, konversi energi dari perbedaan salinitas (tingkat kadar garam), angin dan energi surya.
Ocean thermal energy (OTEC) merupakan suatu bentuk pengalihan energi yang tersimpan dari sifat fisika air laut menjadi energi listrik. Perbedaan suhu air yang besar di permukaan dengan suhu air di bagian dalam dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik. Perbedaan suhu secara vertikal sangat besar terjadi di laut tropis sehingga di Indonesia sebenarnya sangat potensial untuk mengembangkan OTEC sebagai salah satu sumber energi alternatif. Secara sederhana, dari beberapa literatur dinyatakan bahwa jika efisiensi konversi energi panas laut sebesar tiga persen maka Indonesia dapat memanen daya sekitar 240.000 MW.
Selain OTEC, energi arus laut juga merupakan energi yang potensial untuk dikembangkan di negeri tercinta ini. Hal ini karena Indonesia mempunyai banyak pulau dan selat sehingga arus laut akibat interaksi bumi-bulan-matahari mengalami percepatan saat melewati selat-selat tersebut. Selain itu, Indonesia adalah tempat pertemuan arus laut yang diakibatkan oleh Samudra Hindia dan di Samudra Pasifik
Gelombang laut juga dapat dikonversi menjadi energi listrik dengan mengubah gerakan relatif naik turun permukaan laut menjadi gerakan untuk memutar turbin. Menurut Electric Power Research Institute, daerah samudera Indonesia sepanjang pantai selatan Jawa sampai Nusa Tenggara adalah lokasi yang memiliki potensi energi gelombang cukup besar berkisar antara 10 - 20 kW per meter gelombang. Bahkan beberapa penelitian menyimpulkan di beberapa titik bisa mencapai 70 kW per meter gelombang.
Potensi berikutnya adalah energi pasang surut. Di Indonesia daerah yang potensial adalah sebagian Pulau Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Papua, dan pantai selatan Pulau Jawa. Hal ini dikarenakan pasang surut di daerah tersebut bisa mencapai 6 m. Pasang surut dapat dikonversi menjadi energi listrik, terutama pada daerah-daerah teluk dan estuaria yang memiliki amplitudo pasang surut pada kisaran 5-15 m. Metode yang digunakan adalah mengendalikan ketinggian muka air dengan membangun dam. Total energi yang dapat dihasilkan oleh pasang surut diperkirakan mencapai 3x1012 W.
Permukaan laut yang luas tanpa penghalang dan hembusan angin yang kuat juga merupakan potensi bagi pemanfaatan energi surya dan angin. Untuk berladang energi di permukaan laut, Indonesia masih tertinggal jauh dengan negara-negara Eropa, Amerika dan Jepang yang telah lama memanfaatkan ruang di permukaan laut sebagai lokasi pembangkit listrik tenaga angin dan matahari. Sedangkan di Indonesia pemanfaatannya masih terbatas untuk sirkulasi air di keramba/tambak dengan menggunakan kincir angin.
Berbalik menjadi Kelemahan
Namun, laut masih hanya dianggap sebagai pemisah antara satu pulau dengan pulau yang lainnya. Apa yang telah dikaruniakan Tuhan kepada bangsa ini rupanya belum dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan rakyat, bahkan cenderung dilupakan dan dirusak. Seiring dengan pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi, tekanan terhadap sumber daya alam pesisir dan laut menjadi sangat besar, karena tingkat dan kepentingan terhadap sumber daya alam juga semakin tinggi. Saat ini, 70 % daerah perikanan telah mengalami over fishing (tangkap lebih). Ditambah dengan penangkapan ikan secara merusak dan illegal fishing yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab merupakan salah satu contoh bentuk tekanan yang terjadi. Selain itu, dari 14% seluruh terumbu karang dunia yang ditemukan di perairan Indonesia, hanya 5 % terumbu karang yang berada dalam keadaan sangat baik dan hanya 25 % dalam kondisi cukup baik.
Pembuangan limbah ke laut atau pembuangan dari darat yang akhirnya bermuara ke laut akan menyebabkan pencemaran laut yang dapat menimbulkan degradasi mangrove, terumbu karang dan produktivitas hayati lainnya; wisata bahari yang belum digarap dengan optimal; kondisi pesisir dan pulau-pulau kecil yang belum dikelola dengan baik; kondisi nelayan yang hampir sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan dan terancam punahnya hewan-hewan laut yang dilindungi seperti penyu dan mamalia laut akibat praktek tangkap samping merupakan berbagai contoh yang muncul sebagai permasalahan utama dalam pengelolaan sumber daya alam pesisir dan laut.
Sedangkan dalam konteks pemanfaatan potensi energi laut, meskipun Kementerian Ristek telah merintis dengan menjalin kerjasama dengan Italia dan UNIDO dalam transfer teknologi pemanfaatan energi arus laut dan beberapa penelitian juga telah dilakukan seperti pembuatan pilot plant dengan jenis konversi energi panas laut landasan darat dengan kapasitas 100 kW yang dibangun di Bali Utara, bahkan hingga pembuatan pembangkit listrik tenaga gelombang seperti yang telah dilakukan di pantai Parangracuk, Baron, Yogyakarta, namun rupanya belum ada perhatian yang cukup besar untuk pengembangan teknologi untuk memanen energi dari laut. Sehingga sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
Pembangunan berbasis Kemaritiman
Saatnya berpaling pada kekuatan sebagai negara maritim. Dibutuhkan dukungan nyata dari semua pihak, mulai dari Pemerintah pusat hingga pemerintahan pada level yang paling bawah, ilmuwan dan akademisi, sektor industri, stakeholder dan masyarakat pada umumnya, untuk bisa mengoptimalkan laut dan potensi yang terkandung didalamnya. Hal ini dapat dimulai dengan menjawab pertanyaan: "Bagaimana perspektif kita akan kelautan Indonesia di masa kini dan masa yang akan datang?"
Wacana berdirinya 10 Perguruan Tinggi Kelautan di kota-kota besar yang terletak di kawasan pesisir adalah salah satu hal yang diperlukan untuk proses akselerasi menuju negeri maritim. Pada tingkat dasar, muatan lokal kebaharian/kemaritiman dapat diberikan pada anak-anak kita, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah pesisir maupun di tingkat pendidikan dasar secara umum. Dengan mengenalkan laut beserta seluruh potensi yang terkandung diharapkan dapat membuat mereka mencintai laut dan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga, melestarikan dan memanfaatkan laut secara optimal di masa kini dan akan datang.
Wawasan kelautan yang terintegrasi pada elemen-elemen pemerintahan, terutama pada dinas-dinas yang berhubungan langsung dengan sektor pesisir dan kelautan maupun dinas-dinas pemerintahan pada umumnya, juga harus ditingkatkan. Dengan wawasan kelautan yang terintegrasi, maka kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan atau setiap langkah dalam pengambilan keputusan akan selalu merujuk pada konsep yang berbasis kemaritiman. Mengingat kondisi geografis Indonesia, yang disatukan oleh selat dan lautan, maka pembangunan berbasis kemaritiman menjadi suatu keharusan demi kesejahteraan bangsa ini. Semoga pemerintahan terpilih dapat mewujudkannya!
* Mahasiswa Pasca Sarjana Teknik Manajemen Pantai
FTK - ITS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H