Mohon tunggu...
Maulidea Ayu Ningrum
Maulidea Ayu Ningrum Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Helllowww, aku Dea. Aku suka nulis, aku bisa semuanya kecuali memilikimu. Semoga kamu suka ya sama tulisan-tulisanku!

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Anak Muda Dianggap Anti-Sosial? Yuk, Bongkar Alasannya !

13 Desember 2024   22:00 Diperbarui: 13 Desember 2024   20:18 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernah nggak sih kamu dengar komentar seperti ini: "Anak muda zaman sekarang terlalu fokus sama gawainya, jadi nggak peduli sama lingkungan sekitar." Kalimat ini mungkin kedengarannya familiar, dan mungkin juga bikin kamu merasa nggak adil. Faktanya, stereotip ini sering banget dialamatkan ke generasi muda. Padahal, kalau dilihat lebih dekat, kita ini justru generasi yang paling sering berkolaborasi dan membangun komunitas. Digitalisasi dan media sosial malah jadi alat yang kita manfaatkan buat terhubung dengan banyak orang.

Generasi muda sering dicap anti-sosial karena kebiasaan kita yang selalu "menempel" pada gawai. Sering kali, orang lain melihat kita sibuk scrolling media sosial atau mengetik sesuatu, dan langsung berasumsi kalau kita nggak peduli dengan sekitar. Tapi coba lihat dari sisi yang berbeda. Gawai dan internet itu bukan hanya alat untuk hiburan, tapi juga pintu gerbang untuk menjangkau dunia yang lebih luas. Lewat platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter, kita bisa terhubung dengan orang-orang yang punya minat yang sama dari berbagai belahan dunia. Kita nggak hanya jadi konsumen, tapi juga kreator dan kolaborator.

Salah satu bukti nyata bahwa anak muda bukan anti-sosial adalah banyaknya komunitas kreatif yang tumbuh di era digital. Generasi kita jago banget memanfaatkan teknologi buat membangun jejaring. Misalnya, komunitas fotografi online di mana anggotanya saling berbagi tips dan karya. Atau grup diskusi literasi digital yang membahas isu-isu terkini. Bahkan, kolaborasi kreatif seperti membuat proyek seni, video pendek, atau kampanye sosial sering lahir dari interaksi online. Jadi, kalau ada yang bilang kita cuma sibuk main gadget, mereka mungkin belum tahu seberapa banyak hal positif yang lahir dari "kesibukan" ini.

Kolaborasi juga nggak selalu soal proyek besar. Generasi muda sering memanfaatkan platform digital untuk hal-hal sederhana yang berdampak besar. Misalnya, kita bikin fundraising online buat teman yang butuh bantuan, atau mendukung gerakan sosial dengan membuat konten edukatif di media sosial. Lewat cara ini, kita nggak cuma membangun jejaring, tapi juga menunjukkan solidaritas dan empati. Ini bukti kalau interaksi digital bisa sama bermaknanya dengan interaksi tatap muka.

Selain itu, generasi muda juga jago multitasking dalam membangun hubungan sosial. Kita bisa tetap ngobrol dengan teman di grup chat sambil brainstorming ide untuk kolaborasi. Atau, kita bisa ikut webinar sambil tetap aktif di komunitas lokal. Ini adalah cara kita menyeimbangkan dunia online dan offline. Jadi, anggapan bahwa kita anti-sosial itu terlalu simplistis dan nggak melihat gambaran besarnya.

Namun, kita juga perlu mengakui kalau ada tantangan yang muncul dari gaya hidup digital ini. Salah satunya adalah bagaimana kita menjaga keseimbangan antara dunia maya dan dunia nyata. Terlalu lama terhubung secara online bisa bikin kita merasa terisolasi secara emosional. Makanya, penting banget buat tetap meluangkan waktu untuk bertemu langsung dengan teman-teman atau keluarga. Interaksi tatap muka punya nilai yang nggak tergantikan, dan ini adalah salah satu cara untuk menjaga kesehatan mental kita.

Tantangan lainnya adalah menghadapi stigma yang melekat pada generasi muda. Untuk menangkis anggapan anti-sosial, kita perlu menunjukkan lebih banyak hal positif yang kita lakukan lewat media sosial dan teknologi. Misalnya, aktif membagikan karya kreatif, menginspirasi orang lain lewat cerita, atau berbagi informasi yang bermanfaat. Dengan begitu, kita bisa mengubah persepsi negatif menjadi apresiasi terhadap apa yang sebenarnya kita lakukan.

Pada akhirnya, generasi muda adalah generasi kolaborasi. Kita mungkin terlihat sibuk dengan gawai, tapi di balik itu, ada banyak ide, proyek, dan hubungan yang kita bangun. Kita menggunakan teknologi untuk memperluas jaringan, menciptakan peluang, dan membuat perubahan. Jadi, daripada dianggap anti-sosial, kita lebih cocok disebut generasi yang "hyper-connected." Kita nggak hanya berinteraksi, tapi juga saling mendukung dan berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama.

Stereotip tentang generasi muda yang anti-sosial harus dilihat ulang. Dunia sudah berubah, dan cara kita berkomunikasi juga ikut berubah. Selama kita tetap menggunakan teknologi dengan bijak dan seimbang, nggak ada yang salah dengan cara kita bersosialisasi. Jadi, yuk tunjukkan ke dunia bahwa generasi muda adalah generasi yang paling banyak menciptakan peluang lewat kolaborasi. Kita nggak anti-sosial, kita cuma punya cara baru untuk terhubung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun