Pernah nggak sih kamu merasa kalau hidup ini seperti perlombaan maraton yang nggak ada habisnya? Bangun pagi, kerja, belajar, nongkrong, ikut proyek ini itu, dan nggak lupa unggah semuanya ke media sosial biar orang tahu kamu produktif. Well, selamat datang di era hustle culture, di mana kesibukan sering dianggap sebagai tolok ukur keberhasilan. Di satu sisi, hustle culture ini bisa memotivasi kita untuk terus berkembang. Tapi di sisi lain, ada banyak sisi gelapnya yang justru bikin kita lelah, bahkan kehilangan makna hidup.
Hustle culture adalah fenomena di mana bekerja keras dan sibuk sepanjang waktu dianggap sebagai standar emas untuk mencapai kesuksesan. Kamu harus selalu aktif, selalu sibuk, dan kalau bisa, nggak pernah berhenti mengejar target. Ide ini banyak didorong oleh media sosial, di mana kita sering melihat orang-orang yang kelihatannya nggak pernah istirahat: mereka punya karier cemerlang, bisnis sukses, ikut komunitas sana-sini, sambil tetap terlihat keren. Akibatnya, banyak anak muda yang merasa kalau mereka nggak sibuk, maka mereka gagal. Mereka takut terlihat "biasa saja," karena hustle culture membuat "kesibukan" terlihat glamor.
Tapi, mari kita lihat lebih dalam. Apa benar sibuk selalu berarti sukses? Faktanya, hustle culture sering membuat kita kehilangan perspektif tentang apa yang sebenarnya penting. Dalam mengejar kesibukan, kita kadang lupa untuk berhenti sejenak dan bertanya: "Apa sih tujuan hidupku sebenarnya? Apakah aku benar-benar menikmati apa yang aku lakukan, atau aku hanya mengikuti tren?" Kesibukan tanpa arah hanya akan membuat kita merasa kosong. Seperti berlari di treadmill: capek, tapi nggak ke mana-mana.
Dampak hustle culture nggak cuma soal kehilangan arah, tapi juga kesehatan mental kita. Terus-menerus merasa harus produktif bisa membuat kita mengalami burnout, kondisi di mana kita merasa lelah secara fisik dan emosional karena terlalu banyak tekanan. Burnout ini nyata, dan efeknya bisa serius. Mulai dari merasa kehilangan motivasi, sulit berkonsentrasi, sampai gangguan tidur dan kecemasan. Ironisnya, banyak dari kita yang tetap memaksakan diri untuk terus bergerak, meski tubuh dan pikiran sudah memberikan tanda-tanda kelelahan.
Selain itu, hustle culture juga membuat kita sering membandingkan diri dengan orang lain. Kita scroll media sosial dan melihat orang lain tampak sukses: mereka punya pekerjaan impian, liburan ke tempat mewah, atau baru saja menyelesaikan proyek besar. Akhirnya, kita jadi merasa minder dan berpikir, "Kenapa aku nggak seperti mereka?" Padahal, apa yang kita lihat di media sosial hanyalah highlight reel, bukan realitas sepenuhnya. Kita nggak tahu perjuangan atau kesulitan yang mereka hadapi di balik layar.
Jadi, apa yang bisa kita lakukan untuk keluar dari jebakan hustle culture? Pertama-tama, kita perlu mendefinisikan ulang apa itu sukses. Sukses nggak selalu berarti punya karier cemerlang atau gaji besar. Sukses bisa berarti hidup dengan tenang, punya hubungan yang baik dengan orang-orang terdekat, atau menjalani passion yang membuat kita bahagia. Definisi sukses setiap orang berbeda, dan itu nggak apa-apa. Yang penting, sukses versi kita adalah sesuatu yang benar-benar sesuai dengan nilai dan tujuan hidup kita.
Selanjutnya, penting untuk belajar menghargai istirahat. Di tengah kesibukan, luangkan waktu untuk diri sendiri. Istirahat bukan berarti malas, tapi cara untuk mengisi ulang energi. Coba deh renungkan, kapan terakhir kali kamu benar-benar menikmati waktu tanpa merasa bersalah? Mungkin saatnya untuk lebih sering melakukannya. Istirahat bisa berupa tidur cukup, membaca buku yang kamu suka, atau sekadar menikmati secangkir kopi tanpa gangguan.
Jangan lupa juga untuk belajar berkata "tidak." Dalam hustle culture, kita sering merasa harus selalu berkata "ya" pada semua kesempatan, karena takut melewatkan sesuatu yang penting (FOMO, anyone?). Padahal, berkata "tidak" pada hal-hal yang nggak sesuai dengan prioritas kita adalah bentuk menjaga keseimbangan hidup. Ingat, kamu nggak harus melakukan semuanya sekaligus. Fokus pada hal-hal yang benar-benar bermakna bagi kamu.
Terakhir, coba lebih mindful dengan cara kita menggunakan media sosial. Ingat bahwa apa yang kita lihat di sana bukanlah gambaran lengkap kehidupan seseorang. Alih-alih membandingkan diri dengan orang lain, gunakan media sosial sebagai alat untuk belajar dan terinspirasi. Ikuti akun-akun yang memberi dampak positif, dan jangan ragu untuk unfollow yang membuatmu merasa minder atau stres.
Hustle culture memang sudah menjadi bagian besar dari kehidupan kita, terutama di kalangan anak muda. Tapi, bukan berarti kita harus sepenuhnya menyerah pada tekanan ini. Kita punya kendali untuk mendefinisikan hidup kita sendiri, untuk memilih kapan harus bekerja keras dan kapan harus berhenti sejenak. Ingat, hidup ini bukan perlombaan. Nggak apa-apa untuk berjalan pelan, selama kita tahu ke mana kita menuju. Kesibukan bukanlah satu-satunya ukuran sukses. Yang jauh lebih penting adalah menjalani hidup dengan bahagia dan bermakna. Yuk, mulai sekarang, kita lepaskan beban hustle culture dan temukan definisi sukses versi kita sendiri.