kampanye memang sudah menjadi salah satu cara yang paling umum digunakan oleh para kandidat dalam setiap ajang pemilihan umum. Baliho, sebagai media komunikasi politik, mampu menjangkau masyarakat luas, menyampaikan pesan dan visi-misi kandidat secara cepat dan efektif. Namun, meskipun penggunaan baliho tampak sederhana dan efektif, masalah yang muncul justru berasal dari kebijakan pemerintah yang tidak bijak dalam mengatur pemasangannya. Ketidaktegasan dalam aturan, kurangnya pengawasan, serta pelaksanaan yang seringkali tidak konsisten menjadi sejumlah alasan mengapa pemasangan baliho sering kali menimbulkan polemik. Aturan yang seharusnya mengatur pemasangan baliho ini justru sering kali tampak ambigu dan merugikan berbagai pihak, termasuk masyarakat dan kandidat itu sendiri.
Pemasangan balihoSalah satu masalah utama yang muncul adalah ketidakkonsistenan dalam penerapan aturan. Di beberapa daerah, terdapat kandidat yang tampaknya mendapatkan perlakuan istimewa dengan diberi kelonggaran untuk memasang baliho di lokasi-lokasi yang strategis. Sementara itu, kandidat lainnya justru dibatasi atau bahkan terhambat dalam pemasangan baliho mereka. Ketimpangan ini tidak hanya menciptakan persepsi ketidakadilan, tetapi juga merusak prinsip dasar dalam demokrasi, yaitu persaingan yang adil. Tanpa adanya aturan yang jelas dan diterapkan secara merata, masyarakat akan melihat bahwa demokrasi kita lebih condong kepada kepentingan kelompok tertentu, bukan pada pilihan yang benar-benar didasarkan pada kualitas calon atau program yang ditawarkan. Ketidaktegasan ini juga menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah, yang seharusnya berfungsi sebagai pihak yang adil dan netral dalam menyelenggarakan pemilu. Tanpa pengaturan yang jelas, ruang publik pun menjadi ajang pertempuran baliho yang pada akhirnya hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, sementara yang lain terpinggirkan.
Masalah lain yang tak kalah penting adalah pelanggaran terhadap tata ruang kota yang semakin marak terjadi. Baliho sering kali dipasang tanpa memperhatikan regulasi mengenai tata kota atau ruang publik yang seharusnya bebas dari atribut kampanye. Banyak baliho yang dipasang di area-area yang seharusnya tidak digunakan untuk kepentingan politik, seperti taman kota, jalur pejalan kaki, dan bahkan di sekitar fasilitas umum. Pemasangan baliho di tempat-tempat tersebut bukan hanya melanggar aturan, tetapi juga merusak estetika kota dan mengganggu kenyamanan warga. Lihat saja, di sepanjang jalan-jalan utama kota, banyak baliho yang memblokir pemandangan dan menyumbat ruang visual yang seharusnya menjadi hak publik. Ketika kampanye dimulai, ruang-ruang publik kita perlahan mulai dipenuhi dengan iklan politik yang tidak hanya mengurangi keindahan visual kota, tetapi juga mengganggu ketenangan masyarakat yang ingin menikmati ruang publik tersebut tanpa gangguan. Hal ini semakin parah ketika baliho-baliho tersebut tidak segera dibersihkan setelah masa kampanye selesai, sehingga menambah beban sampah visual yang merusak citra kota.
Selain itu, banyak dari baliho yang terpasang dalam kondisi yang kurang terawat, seperti baliho yang sudah mulai rusak atau pudar. Hal ini tentu saja memperburuk kondisi ruang publik dan menunjukkan ketidakpedulian baik dari pihak pemerintah maupun kandidat yang mengandalkan baliho sebagai media kampanye mereka. Baliho yang dibiarkan usang atau bahkan terlepas dari tempatnya bisa membahayakan keselamatan warga, terutama jika terjatuh atau menutup jalan pandang pengendara. Keberadaan baliho yang tidak terkelola dengan baik ini juga menambah masalah baru, yaitu pengelolaan sampah visual yang semakin sulit dikendalikan. Masyarakat pun semakin jenuh melihat baliho yang tidak hanya memenuhi ruang kota, tetapi juga tak pernah dibersihkan dengan segera. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah dalam menjaga kebersihan dan kenyamanan kota, sekaligus meningkatkan citra kota yang seharusnya mencerminkan identitas dan kesejahteraan warga.
Melihat masalah-masalah tersebut, jelas sudah bahwa kebijakan pemerintah dalam mengatur pemasangan baliho kampanye perlu diperbaiki. Pemerintah perlu menyusun regulasi yang lebih tegas, adil, dan transparan. Aturan yang ada saat ini seharusnya bisa memberikan kejelasan mengenai lokasi yang boleh dan tidak boleh dipasangi baliho, serta ketentuan-ketentuan lainnya seperti ukuran baliho, durasi pemasangan, dan ketentuan pemeliharaannya. Untuk itu, melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan lain dalam perumusan regulasi ini sangatlah penting. Keterlibatan masyarakat akan memberikan ruang untuk menyuarakan keberatan atau saran mengenai aturan pemasangan baliho yang lebih sesuai dengan kepentingan publik. Selain itu, pengawasan yang ketat juga perlu dilakukan, bukan hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh pihak terkait lainnya seperti kepolisian atau pihak swasta yang memiliki wewenang. Adanya sanksi yang jelas bagi pelanggar aturan juga sangat diperlukan agar tidak ada pihak yang merasa kebal atau diuntungkan oleh kelonggaran yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.
Dengan adanya reformasi aturan yang lebih bijak, diharapkan baliho kampanye tetap dapat berfungsi sebagai alat komunikasi politik yang efektif tanpa menimbulkan masalah baru. Pemerintah harus mampu memastikan bahwa penggunaan baliho tidak merugikan ruang publik dan estetikanya, serta menjaga agar pelaksanaan kampanye berjalan dengan adil dan transparan. Selain itu, penting bagi pemerintah untuk mengedukasi para kandidat dan tim kampanye mengenai pentingnya menjaga kebersihan dan keteraturan dalam pemasangan baliho. Jika semua pihak berkomitmen untuk menjaga ruang publik dan menegakkan aturan dengan konsisten, maka baliho akan menjadi sarana yang efektif untuk berkomunikasi dengan masyarakat tanpa menambah masalah yang lebih besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H