Mohon tunggu...
Maulida Hutagalung
Maulida Hutagalung Mohon Tunggu... -

“There is no darkness but ignorance”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Di Balik "Skandal Pengampunan Pajak"

25 Juni 2016   13:05 Diperbarui: 1 September 2016   13:55 19399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dirjen Pajak, Ken Dwijugiasteadi melakukan sumpah jabatan, Ken mengandalkan Regulasi Tax Amnesty Untuk Keberhasilan Jabatannya Sebagai Dirjen Pajak (Sumber Gambar : www.pajak.go.id)

Isu RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) diam diam menjadi isu seksi dalam perdebatan perdebatan di Parlemen, namun dibalik isu tersebut tersimpan bahaya besar,  tax amnesty seakan obat plasebo dalam mengobati defisit penerimaan negara, namun setelah dilaksanakan akan terjadi kekacauan luar biasa dalam politik keuangan negara karena ketiadaan akses data bagi wajib pajak, ketidakmampuan administrasi setelah Tax Amnesty dijalankan, dan banyak lagi moral hazard yang timbul, karena tanpa kesiapan dari Direktorat Pajak, para pemain pemain yang terbiasa mengelabui pajak malah mengerjai negara, ditambah proses ketok palu Tax Amnesty sudah diwarnai permainan politik uang untuk menge-golkan regulasi pengampunan pajak yang dilakukan para cukong hitam bekerja sama dengan penggede aparat pajak, kementerian keuangan dan anggota DPR. 

"Tangan Tangan Siluman" para pemain tax amnesty kini mengepung DPR dan bersiap melakukan operasi ketok palu pengampunan pajak, dimana negara nantinya akan melihat kekacauan sirkulasi keuangan negara dan tidak ada lagi wibawa negara dalam melakukan tindakan pajak.  Di depan publik, RUU Pengampunan Pajak dipersepsikan sebagai usaha menutup defisit anggaran, Pemerintah berusaha kejar setoran untuk menutup kekurangan APBN, dalih repatriasi bagi perluasan basis pajak namun bila dicermati banyak sekali 'handycap' dalam RUU Basis Pajak yang memberi peluang bermainnya para cukong hitam dalam manipulasi pajak yang lebih canggih, sementara pemerintah belum siap dalam melakukan antisipasi persoalan tax fraud detection  namun yang lebih parah lagi dibalik permainan regulasi pengampunan pajak, ditemukan operasi suap dalam jumlah besar. 

Sebelum masuk dalam pengungkapan operasi suap ini, kita lihat apa itu Tax Amnesty yang diinginkan oleh Menteri Keuangan namun bisa menjebak Presiden Jokowi secara politis. Dalam tulisan ini akan saya jabarkan lima alur dimana terdapat handycap  pemerintah kita dalam menerapkan tax amnesty. 

Pertama, munculnya isu 'tax amnesty' dikeluarkan oleh Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, tak lama setelah pemerintahan Presiden Joko Widodo terbentuk, Menteri Keuangan menyatakan ini pada bulan Desember 2014 kepada Menteri Keuangan Singapura, saat Menkeu Brodjonegoro menyatakan itu, belum ada ancaman 'shortfall' pos penerimaan pajak APBN, tapi kenapa Menkeu Brodjonegoro sudah mengeluarkan ide 'amnesty pajak' tapi apakah saat itu Menkeu Brodjonegoro sedang menggertak Singapura?, bisa jadi ia sedang menggertak Singapura, tapi kenapa ide ini muncul, ada apa dibalik ini? Faktanya Menteri Keuangan sedang menjual gagasan para pengusaha hitam, dengan kata lain Menkeu menjajakan dagangan para pengusaha hitam dan pejabat korup, yang sejak awal pemerintahan Megawati pun bergerilya ingin menggolkan tax amnesty. 

Tapi Megawati waktu itu teguh berprinsip, kalau administrasi belum siap dan memberikan pengampunan sama artinya menyerah pada koruptor dan penjahat, dan merugikan negara. Bahkan SBY pun tidak berani menerapkan tax amnesty yang kembali disodorkan. Kini, kondisi administrasi pajak sebenarnya tidak jauh berubah. Tapi justru Menteri Brodjonegoro dengan nekat membuka lapak dagangan tax amnesty pengusaha hitam untuk diobral dan dimasukkan ke dalam regulasi keuangan negara. 

Kedua, Tax Amnesty awalnya digagas sebagai National Amnesty, yang ingin mengampuni seluruh jenis pidana, tak hanya pajak. Ini jelas-jelas upaya memberi impunitas bagi para penjahat kerah putih dan koruptor. Apalagi waktu itu isu barter sangat marak. Jelas ide ini bukan bawaan orisinal Nawacita Jokowi - yang secara ideologis justru ingin menjadi antitesis bagi praktik-praktik korupsi dan kebusukan di masa lalu. Mudah sekali ditebak ide ini disorongkan politisi Golkar yang sangat berkepentingan terhadap pengampunan masa lalu. 

RUU berubah setelah mendapat tekanan publik yang luas – bukan karena Menteri Keuangan dan DPR yang peka pada aspirasi rakyat- tapi kemudian publik sudah membaca mulai adanya pengampunan bagi kejahatan kejahatan keuangan yang merugikan negara dan melihat ketidakadilan, dimana rakyat dipaksa berbondong bondong mengantre membayar pajak, tapi kemudian negara dipaksa oleh segerombolan pengusaha hitam untuk mengampuni kejahatan mereka dalam soal korupsi dan penggelapan pajak. Jelaslah ini berlawanan dengan "Arah Nawacita" dimana dalam keuangan "Negara Hadir Dalam Keadilan Distribusi Kekayaan Negara, juga Negara Hadir Dalam Keadilan Kontribusi Baik Kewajiban dan Hak Warga Negara Terhadap Kekayaan Nasional". 

Ketiga, RUU ini, ketika menjadi RUU Pengampunan Pajak, hanya mau fokus pada repatriasi atau deklarasi aset luar negeri, bukan pada deklarasi dalam negeri. Jelas ini motif yang sangat tidak fair, karena kita malah memberi karpet merah pada mereka yang seenaknya menyimpan dana di luar negeri, padahal menikmati layanan publik Pemerintah Indonesia. Lagi-lagi, baru ketika mendapat banyak masukan dan tekanan, RUU diperbaiki.

Keempat, Pemerintah, dalam hal ini Menkeu dan Dirjen Pajak, terkesan bermalas-malasan melakukan penegakan hukum pajak. Padahal di mana-mana kedua orang ini mengobral data yang diklaim akurat dan ada potensi pajak sangat besar. Lha,kalau memang ada potensi Rp 11.400 trilyun dana di luar negeri dan datanya akurat, kenapa tidak diperiksa atau disidik?

Kelima, RUU yang kini hampir rampung dibahas jelas memiliki banyak bolong dan cacat. Selain tarif yang sangat murah, hingga menimbulkan olok-olok “Indonesia Great Sale”, program ini mengampuni sedemikian besar potensi pajak yang belum pernah diusahakan ditagih. Belum lagi jaminan perlindungan hukum yang praktis menutup kemungkinan penegak hukum lain melakukan law enforcement. Habis ini negara dibantai dengan monsterverbond (kesepakatan jahat)  koalisi pejabat korup dan pengusaha hitam. 

Konon ada potensi dana Rp 11.400 Trilyun (data Menkeu dan Dirjen Pajak), Rp 5.000 Trilyun (data Tax Justice Network), Rp 4.500 T ( data McKinsey). Apalagi ditambah skandal Panama Papers. Jika tarif normal bisa diterapkan melalui pemeriksaan dan penyidikan pajak, kita setidaknya bisa mendapatkan Rp 750-1.250 T. Kita sangat perlu mencurigai bahwa Menkeu dan Dirjen Pajak sudah dibeli kekuatan besar dan hitam, yang ingin merusak negara ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun