Mohon tunggu...
Dodi Iswandi Mauliawan
Dodi Iswandi Mauliawan Mohon Tunggu... -

mahasiswa jurusan hubungan internasional di fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, Universitas Gadjah Mada. Masih mencoba menyesuaikan diri dengan suasana di kompasiana hari ini.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pisauku Menunggumu

5 Desember 2010   05:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:00 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu bulan yang lalu aku sedang mencium seorang wanita. Bukan di bibirnya atau di bagian sensual lainnya, tetapi di kening

* * *

Lihat, aku gelisah. Menggelinjang seperti tikus yang kepalanya baru saja hilang. Kemudian aku kembali memperhatikan sekitar. Aku berada dalam sebuah ruangan yang mana pada salah satu sudutnya ada pintu. Tertutup, tak berjendela dan dikunci.

Satu bulan yang lalu aku sedang mencium seorang wanita. Bukan di bibirnya atau di bagian sensual lainnya, tetapi di kening. Karena menurutnya, sebuah kecupan di kening lebih berarti dibanding pelukan atau kecupan manapun. Padahal menurutku, kecupan manapun tentu saja berarti jika dilakukan dengan tulus dan lama. Aku menurutinya bukan karena aku memang polos pada waktu itu, bukan juga karena lelucon seperti cinta. Tetapi karena aku ingin memuaskannya, membuatnya bahagia. Itu saja.

Tidak ada penunjuk waktu di ruangan ini, jadi aku tidak tahu sudah berapa lama aku menunggu. Mungkin sudah satu jam. Mungkin juga satu tahun. Aku tidak peduli, yang penting dia datang.

Namanya adalah Sandra. Atau bisa jadi Saina. Entahlah, aku lupa. Aku menginginkan dia, bukan namanya. Bukan juga matanya yang centil dan dalam ataupun rambutnya yang hitam dan gemar melekuk indah. Aku menginginkannya. Aku menginginkannya. Aku menginginkannya.

Sebilah pisau tergeletak di atas meja. Meja yang poligami, dikelilingi dua buah kursi berkaki empat. Sebutir lampu tergantung di atas meja. Meja yang setia, terletak di jantung ruangan bersudut empat. Sebutir kepala beserta badannya terduduk di salah satu kursi. Semakin gelisah. Itu aku.

Kami masih sama – sama muda dan gemar bertanya. Jika tidak mendapatkan jawaban dengan bertanya, maka kami akan mencoba. Mungkin itu adalah alasannya untuk menjalin hubungan dengan kekasihnya saat ini, seorang pria dengan berbagai kelebihan. Salah satu kelebihan pria itu adalah lebih cepat bertemu dengan Saina dibanding aku. Aku telah kalah. Tapi aku juga bertanya, dan Saina adalah jawabanku, alasanku. Sedangkan pisau, meja, kursi – kursi, lampu, sudut – sudut, pintu dan waktu adalah rumus yang akan membunuh, mengantarkan aku kepada nilaiku.

Pintu diketuk. Pintu diseret. Pintu dibuka. Seorang wanita berdiri di ujung pintu, menghadap kepada aku. Dialah wanita itu, yang mampu menghentikan waktu dan memaksa senyumanku untuk meronta, memaksa nafsuku untuk membuas, memaksa tubuhku untuk mempersilahkannya duduk di kursi yang lain.

Lalu dia duduk.

Tidak lama kemudian, pintu menghilang bersama waktu, ruangan, meja dan lampu. Hanya ada kami berlima dalam sebuah tempat yang tidak butuh penjelasan. Aku mengambil pisau. Pisau itu telah menungguku. Pisau juga gelisah seperti aku. Kegelisahan kami hilang ketika aku menempelkan salah satu sisi pisau di hidungku, menutup lubang – lubang kehidupanku. Tidak lama kemudian aku bergetar hebat, mengejang dan kembali menggelinjang. Pisau tidak bergeming. Pisau telah tenang. Seperti aku beberapa saat selanjutnya, yang mati kehabisan nafas.

* * *

Dalam kamar hotel yang sepi itu seorang wanita menangis sejadi – jadinya. Di depannya ada sebuah meja, dan didepannya lagi ada tubuh seorang pria. Si wanita tidak menangisi si pria. Dia menangisi dirinya sendiri karena masih mampu bernapas sekalipun kedua lubang hidungnya ditutup dengan salah satu sisi sebilah pisau. Dia tidak tahu, pisau itu ikut mati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun