Mohon tunggu...
Maulia Tri A
Maulia Tri A Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

saya seorang mahasiswa yang memiliki minat pada isu tentang perkembangan pendidikan di indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Masa Muda yang Hilang: Mengupas Dampak Pernikahan Dini

20 Desember 2024   10:37 Diperbarui: 20 Desember 2024   10:37 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Angka kasus pernikahan dini di Indonesia masih sangat tinggi setiap tahunnya. Sebagai contoh, sekitar 1.184.100 kasus pernikahan dini tercatat pada tahun 2018, dengan mayoritas perempuan menikah di bawah 18 tahun. Pulau Jawa memiliki jumlah kasus tertinggi dengan 668.900 wanita menikah di usia muda. Angka ini meningkat selama pandemi COVID-19. Jumlah permohonan pernikahan dini mencapai 34.000 dari Januari hingga Juni 2020, dengan 97% di antaranya disetujui (Pusparisa, 2020). Fakta ini telah menjadi perhatian besar terhadap situasi remaja Indonesia.

Pernikahan dini (anak) adalah pernikahan yang terjadi sebelum usia 18 tahun. Dalam hal ini, anak tersebut dianggap belum cukup dewasa secara fisik, fisiologis atau psikologis untuk memikul tanggung jawab pernikahan dan pengasuhan anak-anak yang mungkin lahir dari hubungan tersebut. Di Indonesia, aturan mengenai batasan usia menikah diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang mengubah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut alinea pertama Pasal 7 Undang-undang ini, calon pengantin, apapun jenis kelaminnya, hanya dapat menikah apabila telah berumur 19 tahun ke atas.

Kependudukan (2014) menyatakan bahwa sejumlah faktor memengaruhi pernikahan dini, termasuk tingkat pendidikan yang rendah, tekanan ekonomi, pernikahan yang diatur oleh keluarga, budaya yang mendukung pernikahan muda, dan perilaku seks bebas di kalangan remaja.

Pernikahan dini memiliki dampak yang serius, terutama bagi anak perempuan.

Kehamilan di bawah usia 17 tahun dapat membahayakan kesehatan reproduksi ibu dan bayinya. Pada kelompok usia ini, risiko komplikasi medis meningkat, termasuk tingginya angka kematian dan kesakitan ibu. Anak perempuan berusia 10-14 tahun mempunyai kemungkinan lima kali lebih besar untuk meninggal saat hamil atau melahirkan dibandingkan anak perempuan berusia 20-24 tahun. Sedangkan remaja usia 15-19 tahun menghadapi risiko dua kali lipat. Hal ini disebabkan oleh organ reproduksi yang belum matang sempurna, seperti panggul yang belum berkembang cukup untuk mendukung proses kelahiran.

Menurut data UNFPA tahun 2003, fistula obstetrik, yaitu kondisi kerusakan pada organ reproduksi yang mengakibatkan keluarnya urin atau feses melalui vagina, menjadi salah satu komplikasi jangka panjang yang dialami oleh 15 hingga 30 persen perempuan yang melahirkan di usia muda. Selain itu, pernikahan dini dan kehamilan pada usia muda juga meningkatkan risiko tertular penyakit menular seksual, termasuk HIV.

Pernikahan anak juga berdampak buruk pada bayi yang dilahirkan. Anak yang lahir dari ibu yang menikah dini memiliki risiko meninggal sebelum usia satu tahun, bahkan dua kali lebih tinggi dibandingkan anak yang lahir dari ibu berusia dua puluh tahun. Selain itu, bayi-bayi ini rentan mengalami kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, dan kekurangan nutrisi. Keadaan ini disebabkan oleh tubuh ibu yang belum berkembang sempurna dan seringkali gizinya kurang. Akibatnya kebutuhan gizi ibu menjadi lebih besar dibandingkan kebutuhan gizi janin sehingga berdampak buruk bagi kesehatan kedua belah pihak (Statistik, 2017).

Pernikahan dini juga dikaitkan dengan kemungkinan perceraian yang lebih tinggi. Hal ini terjadi karena salah satu atau kedua pasangan, baik laki-laki maupun perempuan, biasanya berusia di bawah 19 tahun, usia dimana pikiran dan emosi belum sepenuhnya matang. Karena kurangnya pengalaman dan persiapan dalam menangani konflik, mereka seringkali merasa bingung atau stres ketika menghadapi berbagai permasalahan keluarga. Situasi ini dapat memicu peningkatan kekerasan dalam rumah tangga dan berujung pada perceraian. Angka menunjukkan bahwa pasangan muda yang menikah terlalu dini menghadapi enam kasus perceraian. Fakta ini menunjukkan bahwa pernikahan dini memberikan dampak negatif tidak hanya pada pasangan, namun juga pada keluarga, lingkungan sekitar, dan anak.

Kesimpulan 

Jumlah kasus pernikahan dini di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, terutama di kalangan perempuan di bawah 18 tahun. Tingkat pendidikan yang rendah, tekanan ekonomi, pengaruh budaya, dan perilaku remaja adalah penyebab utamanya. Pernikahan dini memiliki konsekuensi yang signifikan, termasuk masalah kesehatan reproduksi pada ibu muda, kemungkinan komplikasi kehamilan, dan peningkatan angka kematian bayi. Selain itu, pasangan muda sering menghadapi konflik, stres, dan perceraian karena mereka belum cukup matang secara emosional. Ini menunjukkan bahwa menikah terlalu dini berdampak negatif pada individu, keluarga, dan generasi mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun