Mohon tunggu...
Mauliah Mulkin
Mauliah Mulkin Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

"Buku adalah sahabat, guru, dan mentor". Ibu rumah tangga dengan empat anak, mengelola toko buku, konsultan, penulis, dan praktisi parenting. Saat ini bermukim di Makassar. Email: uli.mulkin@gmail.com Facebook: https://www.facebook.com/mauliah.mulkin

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tips Menaklukkan Suami

9 Oktober 2014   20:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:42 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://ummutia.files.wordpress.com/2011/04/suami-istri.jpg?w=630

[caption id="" align="aligncenter" width="288" caption="http://ummutia.files.wordpress.com/2011/04/suami-istri.jpg?w=630"][/caption]

Terinspirasi dari sebuah group parenting di BB, saya lalu ingin menulis dengan judul ini. Yang berstatus suami harap tenang dulu, isi tulisan ini tidak akan mendiskreditkan, memprovokasi, ataupun membuat suami jadi tak berdaya. Karena isi tulisan ini jauh dari prasangka tersebut.

Berawal dari curhatan para ibu soal pengasuhan anak-anaknya. Mereka mengeluhkan suami-suami mereka yang rata-rata susah diajak kompromi dan kerjasama dalam hal mengasuh anak. Di samping itu, ibu-ibu ini jadi merasa bekerja dan berjuang sendiri. Bagaimana tidak? Para bapak/suami yang semestinya bisa minimal mensupport isteri yang bersusah payah ikut pelatihan kepengasuhan, eeehhhh.....malah justru terkadang menjadi salah satu pihak yang mesti ditaklukkan.

Ini yang sering kali menjadi hambatan dan keluhan terbesar para ibu. Suami (tidak semua) nampak cuek dan tidak menganggap penting urusan yang satu ini. Makanya saya sering salut pada para bapak yang kelihatan perhatian dan peduli pada proses tumbuh kembang anaknya. Termasuk di dalamnya mengetahui cara berkomunikasi yang tepat, cara menyikapi perilaku anak yang salah, dll. Apakah salah satu penyebabnya, karena mereka telah disibukkan oleh urusan mencari nafkah sehingga waktu mereka lebih banyak tergerus untuk pekerjaan? Ataukah ada sebab lain? Jika benar ini yang menjadi alasan terbesarnya, setidaknya mereka bisa menyumbangkan perhatian sedikit saja untuk urusan parenting ini dan tidak justru sebaliknya, bersikap masa bodoh dan cenderung berlepas tangan, berharap pada isteri yang nanti akan menyelesaikannya.

Kurangnya minat dan perhatian para bapak ini terlihat pada saat ada acara-acara berupa seminar, diskusi, atau pelatihan soal pengasuhan anak. Bisa dilihat prosentase kehadiran kaum bapak sangat rendah. Karena kurangnya yang hadir, seringkali mereka jadi terlihat agak risih dan malu-malu berada di tengah-tengah dominasi para ibu. Pulang ke rumah, si ibu membawa ilmu baru ke tengah keluarga, sayangnya kurang dapat diimbangi oleh pasangan sendiri.

Berdasarkan hasil pengamatan, belajar dari buku, atau dari pengalaman sendiri, saya berbagi tips ini untuk pembaca. Karena saya pun awalnya seperti kasus-kasus di atas. Berita baiknya ia akhirnya berubah setelah melalui proses yang lumayan panjang. Di sini saya ingin berbagi pengalaman itu. Jika berkenan dan terasa kurang, silakan ditambahkan:

1.Memulai belajar lebih dahulu. Meskipun pasangan belum tertarik untuk ikut mempelajari tema yang sama. Dengan harapan setelah melihat isteri banyak berubah, ia akan tertarik juga untuk mengikuti.

2.Jika ternyata hasilnya tidak seperti yang diharapkan, suami belum mengubah pola asuhnya, jangan dipaksakan. Kita bisa pelan-pelan menunjukkan akibat-akibat dari kurang kooperative-nya dia dalam menangani anak.

3.Sesekali mengajak dia untuk sama-sama menghadiri acara sejenis meski mungkin belum dapat mengikutinya hingga selesai.

4.Meletakkan buku-buku yang membahas masalah pengasuhan anak di tempat-tempat yang mudah dijangkau. Misalnya di atas meja tamu, di area ruang keluarga, atau di tempat-tempat strategis yang kira-kira akan mudah ia jangkau jika sedang dalam kondisi santai.

5.Sempatkan waktu untuk diskusi ringan. Hindari membahas masalah terlalu serius yang terkadang berujung pada pertentangan dan perbedaan pendapat. Jika ternyata ini harus terjadi, hindari bersikap frontal dengan pendapatnya. Cukup didengarkan dan diiyakan saja dulu. Setelah itu, baru kita  menyampaikan pendapat dari sudut pandang kita sendiri. Karena terkadang kebenaran jadi sulit diterima jika metode penyampaiannya  kurang tepat.

6.Jika sewaktu-waktu ia marah atau tidak setuju pada sesuatu, misalnya tidak bisa menerima perilaku anak, maka biarkan saja ia menumpahkan uneg-unegnya. Setelah reda, barulah giliran kita berbicara menyampaikan pendapat yang benar menurut  versi kita.

7.Di atas semua masalah yang terjadi, apa pun itu, usahakan untuk bersikap tenang, kalem, bicaralah dengan nada suara datar dan tanpa emosi. Dengan settingan seperti ini, maka yakinlah lawan bicara pun akan terbawa dengan atmosfir ini.

Selamat bereksperimen....... :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun