Ide mendirikan sekolah jenis ini telah lama mendiami pikiran saya. 5-6 tahun yang lalu persisnya. Meski ide ini bukanlah hal yang baru untuk sebagian besar pemerhati pendidikan anak di Indonesia, namun tetap saja ia  menjadi sesuatu yang menarik untuk dipertimbangkan.
Selama ini orang-orang rela bersekolah dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk dapat menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau mengambil spesialisasi agar menjadi ahli di bidang tertentu. Tapi mereka lupa untuk meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menguasai bidang kepengasuhan.
Menjadi ahli pada suatu bidang pekerjaan mungkin bisa menjadi pilihan karir, akan tetapi menjadi ahli di dunia pengasuhan tentu saja bukan ‘pilihan’ melainkan ‘keharusan’. Kecuali orang tersebut menghapus kemungkinan untuk ia menjadi orangtua suatu hari nanti.
Sebenarnya jika kita mau membuka mata lebar-lebar, bukan hanya pada saat menjadi orangtua  kita baru akan terhubung dengan anak-anak, akan tetapi hampir semua bidang kehidupan khususnya dunia pendidikan membutuhkan kemampuan pengasuhan yang mampu menjawab berbagai persoalan yang berhubungan dengan perilaku dan kebutuhan anak.
Bahaya menjadi orangtua tanpa referensi
Dulu, ketika usia masih kanak-kanak, saya sempat berpikir, bahwa menjadi orangtua itu gampang, tinggal mengamati perilaku sehari-hari orangtua kita, beres. Ia tidak perlu dipelajari, apalagi sampai seserius seperti yang kami lakukan saat ini sebagai orangtua. Menjadi orangtua ternyata tidak mudah. Karena orangtua menghadapi manusia mini dengan alam pikiran yang berbeda  dengan mereka.
Jika menjadi orangtua itu hanya seputar membesarkan, mencukupi kebutuhan fisiknya, dan menyekolahkannya, mungkin akan tampak sederhana dan mudah. Namun pada kenyataannya membesarkan anak tidaklah semudah yang kita bayangkan. Ia penuh dengan perjuangan baik moril dan materiil. Mesti tarik ulur menggunakan metode yang tepat, dan lain sebagainya.
Sayangnya orangtua terkadang kebingungan hendak belajar kemana jika benar-benar serius mau mempelajari dunia kepengasuhan secara komplit. Yang ada saat ini hanyalah buku-buku, majalah, media online dan cetak, ditambah seminar atau training kepengasuhan yang saat ini banyak tersedia. Mulai dari yang berbiaya puluhan ribu sampai yang berbiaya jutaan. Para orangtualah yang harus proaktif mencari informasi-informasi ini. Jika tidak, maka pekerjaan menjadi orangtua akan terasa berat, membebani, dan membosankan.
Lalu apa bahayanya jika orangtua tidak mau belajar, mencari informasi, atau aktif mengikuti pelatihan keayahbundaan? Orangtua jenis ini akan bertindak dan bereaksi/merespon setiap perilaku ‘menyimpang’ anaknya dengan cara seperti orangtua mereka dulu memperlakukan mereka ketika kecil. Berita baik jika cara tersebut sesuai dengan teori yang dianjurkan oleh para ahli, namun jika tidak, maka anaklah yang akan jadi korban.
Misalnya: bagaimana sikap orangtua ketika mengetahui anaknya mencuri uang? Tentu  beragam reaksi yang akan muncul. Ada yang langsung memukulnya tanpa sempat melakukan ‘interview singkat’ dengan si anak (ingat kasus masa kecil ketika ketahuan mencuri), ada yang masih memiliki stok waktu yang sedikit untuk menanyai si anak, namun dengan nada yang menuduh (meraba-raba tindakan yang tepat diberlakukan untuk si anak). Di antara para orangtua ini ada yang mau meluangkan waktu yang banyak untuk berduaan, berbicara empat mata dengan si anak, memancing anak untuk mau terbuka, bercerita tentang bagaimana asal mula ia melakukan tindakan tersebut.
Pada akhirnya, sekolah itu penting untuk menjadikan seseorang pakar di bidangnya. Pilihannya kembali kepada diri masing-masing, kita ingin menjadi pakar di bidang apa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H