Mohon tunggu...
Mauliah Mulkin
Mauliah Mulkin Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

"Buku adalah sahabat, guru, dan mentor". Ibu rumah tangga dengan empat anak, mengelola toko buku, konsultan, penulis, dan praktisi parenting. Saat ini bermukim di Makassar. Email: uli.mulkin@gmail.com Facebook: https://www.facebook.com/mauliah.mulkin

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Artikel Utama

Salah Kaprah Orangtua Menghadapi Anak yang Lagi Kesal atau Sedih

4 Mei 2015   22:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:22 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sikap orangtua dalam mendengarkan masalah anak

[caption id="" align="alignnone" width="400" caption="Sikap orangtua dalam mendengarkan masalah anak"] [/caption]

Sebagai orangtua banyak cara yang beragam yang kita gunakan dalam mengungkapkan perasaan sayang  pada anak. Salah satunya adalah dengan cara rajin memberinya nasihat. Seolah-olah tak ingin ada masalah yang mengganggu kenyamanan aktivitas keseharian mereka. Seperti saat mereka sedang sedih atau kesal. Biasanya semakin mereka mengekspresikan kesedihan dan kekesalannya, maka semakin gencar pula kita menyuntikkan kata-kata yang berisi nasihat, tentu dengan tujuan yang baik. Agar perasaan mereka bisa lebih tenang atau lebih nyaman. Sayangnya justru saat-saat seperti ini sangat riskan untuk memberinya “kata-kata mujarab” ini.

Dari sinilah awal banyak terjadi kesalahan komunikasi orangtua-anak. Karena kecenderungan kita sebagai orangtua untuk segera bereaksi dengan cara memberikan nasihat saat anak mulai menceritakan kejadian yang menimpanya. Lebih parahnya lagi, kita belum mendengar keseluruhan cerita si anak, orangtua sudah langsung memotongnya dengan nada tak sabar. Beragam reaksi orangtua yang muncul pada situasi-situasi seperti ini. Misalnya menceramahi anak, memarahinya, menyalahkannya, atau mungkin menyepelekan perasaannya. Bahkan segera menghiburnya pun bukan merupakan jalan keluar yang baik.

Si anak yang mulanya ingin menceritakan masalah yang menimpanya secara panjang lebar, namun karena mendapati reaksi orangtua yang seperti ini, maka biasanya mereka jadi tak ada gairah lagi untuk bercerita. Sebagai gantinya biasanya mereka lebih memilih menghindar dengar cara berlari masuk ke dalam kamar, keluar menjauh dari rumah bergabung bersama teman-temannya, atau tindakan-tindakan sejenis yang menunjukkan penolakannya atas reaksi yang ia terima dari orangtuanya.

Biasanya orangtua lalu bertanya-tanya, apa yang salah dengan saya? Karena menganggap apa yang ia  lakukan selama ini sudah benar, maka bingunglah mereka saat reaksi anak tidak seperti yang mereka harapkan. Pada benak banyak orangtua, menasihati anak adalah sebuah keharusan dan sudah menjadi tugas pokok orangtua. Karena peran dan posisi orangtua yang jauh di atas pemahaman anak-anak. Sehingga wajarlah jika segala sesuatunya yang berkenaan dengan masalah anak diarahkan atau dikendalikan oleh orangtua. Karena pengetahuan orangtua yang jauh melampaui pengetahuan si anak.

Sayangnya justru metode berkomunikasi dengan anak ini tidak bekerja dengan cara seperti itu. Bahkan sebenarnya dengan sesama manusia dewasa pun akan seperti ini aturan mainnya. Orang yang sedang ditimpa suatu masalah akan sangat tidak merasa nyaman jika saat mulai bercerita atau sementara dalam proses bercerita, kita sebagai lawan bicaranya spontan memberikan masukan kepadanya, atau kata-kata yang bermuatan nasihat. Karena ketika seseorang sedang dalam situasi bermasalah dan orang tersebut menceritakan masalahnya, maka sebenarnya yang ia butuhkan untuk saat itu adalah telinga-telinga dan tatapan mata teduh yang penuh perhatian yang mau bersedia mendengarkan curhatannya. Yang dalam bahasa ringkasnya disebut sebagai empati. Dan bahasa tubuh bisa menjadi salah satu medium yang tepat untuk mengekspresikannya.

Saya termasuk dalam kelompok yang masih terus mempelajari dan mengasah skill berkomunikasi yang satu ini. Karena terkadang masih banyak juga salah dalam penerapannya. Namun dengan niat dan usaha yang keras untuk selalu memperbaiki diri, maka latihan yang terus menerus dalam menghadapi masalah yang berbeda dari hari ke hari saya yakin akan menjadikan seseorang mahir. Karena menurut saya kunci sebuah perubahan ke arah perbaikan adalah kesadaran akan masalah>kemauan untuk belajar>konsisten berlatih>selalu mengevaluasi diri.

Jika siklus ini kita praktekkan secara terus-menerus, maka Insya Allah akan banyak terjadi perbaikan kualitas dalam cara kita berinteraksi dengan anak-anak kita di rumah, di sekolah, maupun di masyarakat.

*Tulisan ini terkhusus buat teman-teman diskusi parenting di manapun mereka berada. Bukan bermaksud menggurui, melainkan sekadar berbagi tips dan pengetahuan yang saya dapatkan dari hasil membaca buku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun