[caption id="" align="aligncenter" width="569" caption="Headline Kompasiana"][/caption]
Kemarin, tepatnya Selasa siang saya memanfaatkan waktu senggang untuk “jalan-jalan” mengunjungi lapak teman-teman di Kompasiana. Khususnya yang bereputasi penulis senior dan profesional. Inilah cara saya belajar menulis. Membaca, membaca, dan membaca (meminjam gaya retorika terbaru) tulisan orang yang berkompetensi di bidang kepenulisan. Inginnya saya membaca sebanyak mungkin tulisan teman-teman, namun apa daya waktu dan energi yang membatasi. Sehingga saya hanya mampu memilih beberapa tulisan saja dalam sehari untuk saya baca.
Bermula dari membaca artikel mas Dodi Mawardi, yang berjudul “Sssttt.......Bos Kompasiana Beraksi di Perbatasan”, saya kemudian ingin mengenal lebih jauh lagi sosok beliau (Bos Kompasiana, Kang Pepih) yang telah sangat berjasa mengumpulkan para penulis dalam sebuah wadah yang bernama Kompasiana. Saya tertarik membaca salah satu artikelnya yang berjudul “Tidak Etis, Mengubah Konten Tulisan Sendiri yang Di-HL-kan Kompasiana”. Tulisan ini menjawab banyak hal seputar kriteria sebuah tulisan yang akan dijadikan Headline, bagaimana para admin harus bekerja keras menggodok tulisan-tulisan yang dijadikan nominator untuk dijadikan HL (Headline). Berapa kali tayangan tulisan HL itu diganti oleh admin, sampai pada jumlah tulisan yang masuk dalam sehari yang bisa mencapai 1.000 tulisan. Wah, tak mampu saya bayangkan bagaimana mata-mata para admin membaca tulisan sebanyak itu.
Jadi, sebelum dinobatkan atau dipajang sebagai headline, penulis sudah diberikan sinyal sebelumnya lewat highligt (dianggap penting). Bahwa sebelum dijadikan headline, sebuah tulisan mesti melewati tangga higlight terlebih dahulu. Artinya, bersiap-siaplah untuk jadi headline bagi tulisan-tulisan yang nangkring di etalase highlight (jika beruntung terpilih). Oohh...begitu ya kang Pepih? Saya manggut-manggut dalam hati, makin mengerti arti simbol-simbol penghargaan yang ada di halaman depan Kompasiana.
Nah, inilah rupanya pertimbangan admin dalam menjadikan sebuah tulisan headline. Yang pertama, tulisan yang berjenis reportase (laporan on the spot), yang kedua, pertimbangan dari sisi kebermanfaatan tulisan. Oh, terjawablah sudah rasa penasaranku selama ini. Sebelumnya, saya sempat berpikir, bahwa tulisan itu mudah jadi headline ketika mengungkap sesuatu yang sifatnya kontroversial semata. Berpatokan pada bad news is a good news. Ternyata saya keliru menerjemahkannya.
Menjadi headline atau tidak bagi sebagian orang tidak jadi soal. Tapi bagi saya pribadi, ia menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan jurnalisme seseorang. Tentu admin Kompasiana pun tidak sembarang memilih tulisan yang akan dipajang pada “tempat terhormat” pada welcome page Kompasiana. Pasti ada nilai tersendiri bagi penulis-penulis ini. Apalagi sekarang tingkat keterbacaan penulis semakin luas dengan ditampilkannya semua tulisan yang jadi headline pertama dan kedua setiap harinya pada Kompas.com.
Note: Mohon kritikan dan masukan admin Kompasiana jika saya keliru. Salam damai....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H