Ibuku kelahiran 1950. Beliau seorang tamatan SMP. Menikah dini di usia yang belum genap 20. Meski tamatan SMP namun pengetahuan dan kecakapannya mengelola kehidupannya sangat luar biasa. Dari ketujuh anaknya, beliau dikaruniai cucu sebanyak 21 orang. Walaupun sudah ditinggal suami sejak tahun 2000 lalu, ibu tetap mampu bertahan sendiri hingga kini mengawal dan mendampingi semua anak dan cucu-cucunya.
Sebenarnya ibu dulunya tidaklah seperti sosoknya yang sekarang. Sangat jauh berbeda bagaikan bumi dan langit. Saya masih ingat masa-masa kecil kami yang masih dipenuhi banyak ketakutan-ketakutan khas anak-anak. Karena ibu sangat disiplin dan sedikit galak dalam hal metode berkomunikasi dengan anak-anaknya. Sehingga kami kadang merasakan takut yang sangat jika melakukan suatu kesalahan.
Soal pembagian pekerjaan dalam rumah, jangan ditanya. Beliau sangat tegas dan tak ada sistem tawar-menawar. Semua akan mendapat jatah pekerjaan yang sama sesuai dengan usianya. Jadi tak ada kecemburuan antara satu dengan yang lainnya. Jika ada suatu hari sekolah, salah satu di antara kami tidak atau lupa menjemur handuk bekas mandinya, maka ia akan dipanggil pulang lagi hanya untuk menjemur handuk yang ia tinggalkan tergeletak di kursi atau di lantai. Benar-benar luar biasa disiplinnya ibu saya ini.
Agak berbeda dengan bapak yang sedikit lebih persuasif dan lebih diam dalam menangani anak-anaknya. Sehingga secara psikologis kami justru merasa lebih dekat dengan bapak. Kami lebih bisa terbuka dan nyaman bercerita dengan bapak ketimbang dengan ibu. Itu terjadi selama tahun-tahun kebersamaan kami, hingga kami anak-anaknya satu persatu mulai melepaskan diri dari keluarga besar karena saatnya sudah tiba untuk membentuk keluarga sendiri.
Yang membedakan bapak dengan ibu adalah bapak banyak sekali melahap buku sejak muda. Beliau banyak memiliki keterampilan hidup karena belajar secara otodidak. Pada belasan tahun hidup terakhirnya, beliau dipercayakan untuk mengajar tujuh mata pelajaran SMU yang mana kesemuanya itu tak pernah ia pelajari khusus di bangku akademik. Saya masih ingat, saat tengah malam bapak masih saja terjaga dengan lampu belajar yang menemaninya untuk menyelesaikan buku-buku yang mesti ia baca. Buku-buku tersebut harus ia tuntaskan sebagai bahan untuk memperkaya materi ajarnya atau untuk materi ceramah yang kadang beliau isi di lingkungan pengajian tempat tinggal kami.
Ibu dan bapak meski berbeda watak namun mereka bisa hidup saling melengkapi satu sama lain. Karena adaptasi yang telah terjadi selama puluhan tahun di antara mereka. Meski sesekali ada kejadian-kejadiana yang kurang menyenangkan yang menghiasi kehidupan keluarga besar kami, namun semua berhasil diatasi dengan baik. Ini dikarenakan terpeliharanya jiwa-jiwa besar yang mereka miliki. Jika bapak belajar kehidupan dari buku-buku yang ia baca, maka ibu belajar kehidupan dari pengalamannya sehari-hari.
Ibu yang sekarang
Sekarang ibu sudah semakin banyak berubah dari yang kami rasakan ketika kami masih kecil. Perubahan ke arah yang positif tentunya. Sekarang ibu jauh lebih bijaksana dari saat kami kecil dulu. Dalam hal keterampilan, beliau jagonya. Di usianya yang ke-64 beliau masih mahir mengajari ibu-ibu muda dan kami anak-anaknya untuk merajut tas dari tali kur. Semakin pintar menjahit baju dengan model-model yang lagi trend. Meski membaca buku hanya sekali-sekali, tapi beliau rajin sekali mendengar ataupun menonton ceramah agama dari ustadz-ustadz di televisi. Ingatannya masih sangat kuat, mungkin salah satunya karena usaha beliau untuk terus mengasah skill dalam mempelajari kerajinan tangan versi rumahan.
Dalam menjaga kesehatan, beliau sangat patut untuk dijadikan contoh. Beliau sangat memperhatikan kesehatan. Kalau orangtua-orangtua lain ada yang mesti diingatkan untuk rajin minum suplemen dan merawat kesehatan oleh anak-anaknya, maka ibu termasuk jenis yang berbeda. Kadang kondisinya malah terbalik. Beliau yang lebih cerewet mengingatkan anak-anaknyan untuk peduli pada kesehatan masing-masing. Meski rutin puasa sunnah dan sholat malam, beliau tak pernah bangun kesiangan. Paling telat bangunnya jam 5 subuh. Waduh.....anak-anaknya kalah deh sama ibu.
Membahas soal etika, ibu pun tak ketinggalan. Jangan coba-coba bawa anak kecil ke rumah, kemudian si anak dilepas bebas begitu saja berkeliaran. Maka mata awasnya akan memandangi si anak dan ibunya dengan penuh tanda tanya. Soalnya sejak kecil kami tak dibiasakan seperti itu. Ibu jarang membawa-bawa anak kecilnya kalau ke rumah orang atau ke tempat pengajian/pertemuan penting. Jika ada pesta dan terpaksa membawa kami, maka ibu akan menyuap anak-anaknya yang masih kecil atau menyuruh makan sampai kenyang dulu baru kami boleh ikut. Karena beliau paling gerah dan kurang nyaman melihat anak-anak yang dibawa-bawa ke tempat ramai dan orangtua tidak mengawasinya. Bahkan kadang, anak-anak itu diberi piring yang diisi makanan di luar batas porsinya. Sehingga terbuang-buanglah makanan itu.
Masih banyak pembelajaran penting yang diwariskan ibu pada kami. Yang jelas ibu mengajarkan banyak pengalaman dan keterampilan hidup yang belum tentu pernah kami dapatkan selama bersekolah. Keterampilan mengelola hidup dengan cara otodidak.
Ibu tetap menjadi guru kami hingga saat ini. Meski beliau tidak membaca sebanyak yang kami baca, tapi beliau banyak belajar dari mendengar ceramah-ceramah yang berbobot untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan yang pasti beliau rajin mempraktekkannya langsung dan membuktikannya kepada orang-orang di sekitarnya bahwa ia bukan hanya “omdo”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H