Mohon tunggu...
Mauliah Mulkin
Mauliah Mulkin Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

"Buku adalah sahabat, guru, dan mentor". Ibu rumah tangga dengan empat anak, mengelola toko buku, konsultan, penulis, dan praktisi parenting. Saat ini bermukim di Makassar. Email: uli.mulkin@gmail.com Facebook: https://www.facebook.com/mauliah.mulkin

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mendidik Pasangan (Suami)

16 Februari 2015   21:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:05 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://2.bp.blogspot.com/-1YM_QCpnpZM/TzaS4Bw6CjI/AAAAAAAAAD8/VCKfbm_UJHE/s1600/dfzsxs.jpg

[caption id="" align="aligncenter" width="259" caption="http://2.bp.blogspot.com/-1YM_QCpnpZM/TzaS4Bw6CjI/AAAAAAAAAD8/VCKfbm_UJHE/s1600/dfzsxs.jpg"][/caption]

Jika kebanyakan tulisan saya umumnya berbicara tentang mendidik anak, maka kali ini saya ingin membahas soal bagaimana mendidik pasangan. Saya berharap tak ada suami yang akan tersinggung dengan judul tulisan saya di atas. Mengingat kunci keberhasilan mendidik anak salah satunya ada pada pasangan. Jika pasangan turut mendukung, seia sekata dalam visi dan misi keluarga, maka proyek mendidik dan membesarkan anak akan menjadi jauh lebih mudah. Mengapa saya fokus ke suami, karena pada banyak kasus teman-teman saya, suamilah yang biasanya kurang paham soal pendidikan anak.

Sering sekali saya temukan pada banyak rumah tangga, juga di tengah masyarakat, biasanya yang aktif dan mau serius terlibat mikir dan belajar soal anak adalah para ibu. Suami kemana saja? Mungkin akan ada yang berdalih, bahwa suami sudah terlalu sibuk dengan urusan mencari uang, sehingga urusan anak biarlah menjadi urusan isteri. Baiklah, secara fisik keberatan ini bisa diterima. Akan tetapi secara psikis dan pikiran saya yakin tidaklah terlalu sulit.

Saya memiliki banyak teman para ibu dan para bapak baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Saya sering sekali mengamati, memperhatikan, bagaimana cara-cara mereka (para bapak) ini berkomunikasi dengan anak-anaknya. Maaf, kalau saya terpaksa memberikan penilaian diam-diam dalam hati. Dari sekian banyak para bapak yang saya kenal, hanya sedikit sekali (sekitar 10%) saja yang peduli dengan perkembangan anak-anaknya.

Contoh kecil, suatu hari saya merekam dalam ingatan sebuah interaksi bapak-anak di sebuah toko buku. Beliau membawa 2 anak perempuannya yang manis, lucu, dan pintar. Anak-anak ini awalnya asyik bermain sendiri, melihat-lihat pajangan buku yang ada. Tak lama kemudian, ia menyodorkan kepada ayahnya satu buah buku untuk ia beli.

“Ayah...ayah...., buku ini bagus untuk Ibu. Beli ya....” si Ayah tetap saja bergeming. Asyik bicara dengan temannya yang kebetulan ketemu di tempat tersebut. Si anak kembali mengulang panggilannya, sambil menarik-narik ujung baju ayahnya. Kalau tiak salah hitung, ada sekitar 3-4 kali ia memanggil-manggil ayahnya. Panggilan yang ke tiga, ayahnya sempat berpaling sebentar ke arah anak, sambil mengatakan “Tunggu sebentar Ayah lagi bicara....” Si anak masih belum menyerah juga. Dia masih mengulang-ulang lagi panggilannya. Entah yang keberapa kalinya barulah si Ayah akhirnya berhenti bicara dan berbalik pada si anak.

Mungkin banyak di antara kita, para ibu dan bapak yang sering mengalami kejadian yang serupa dengan di atas. Kira-kira seperti apa sih reaksi yang sebaiknya kita lakukan pada saat kita mengalami situasi-situasi seperti ini? Berdasarkan pengalaman pribadi dan belajar dari banyak sumber, inilah beberapa point yang bisa saya simpulkan.

Pertama, anak sebaiknya menghargai kita, orangtuanya dengan tidak memotong seenaknya pembicaraan si orangtua. Tapi apakah anak mengerti? Tentu saja tidak, jika orangtua tidak pernah menyampaikan hal ini sebelumnya. Jadi sebelum mengharapkan ada pemahaman atau pengertian dari anak, maka perlu ada pembicaraan sebelumnya.

Kedua, jika ternyata aturan tersebut sudah pernah kita sampaikan atau bicarakan sebelumnya, dan anak masih melanggar, itu berarti ia masih perlu diulangi lagi dan lagi. Sambil dijelaskan kepada anak, bahwa jika masih bisa menunggu ayah selesai bicara, tunggulah sampai pembicaraan tersebut selesai. Akan tetapi jika tidak, alias sangat mendesak, bolehlah memotong pembicaraan ayah.

Ketiga, biasakanlah orangtua langsung menoleh ke arah anak pada panggilan pertama, maksimal panggilan kedua. Respon panggilannya, dan ingatkan (boleh dengan isyarat) untuk meminta dia menunggu sebentar. Setelah pembicaraan selesai (usahakan secepatnya diselesaikan, setelahnya bisa dilanjutkan), segera kembali berbalik dan merespon panggilan anak yang tadi sempat tertunda.

Menjadi pasangan yang kompak

Kompak yang saya maksudkan di sini adalah sama-sama mau belajar, sama-sama mau membaca, sama-sama mau mengaplikasikan teori, dan sama-sama mau berubah. Ini dia kunci kesuksesan keberhasilan mendidik anak. Saya mau membahas ini karena banyak dari teman-teman dan tetangga saya mengeluhkan soal yang satu ini. Isteri rajin ke pertemuan, rajin berdiskusi masalah parenting, rajin hadir seminar, lha bagaimana dengan suami?

Untung kalau si suami mau terbuka mendengar hasil diskusi atau hasil sharing pengetahuan dari si isteri, jika tidak bisa-bisa isteri akan seolah berjalan di tempat. Malah yang terjadi suami ibarat ‘rem tangan’ yang meski sekencang apa pun kita menggas kendaraan, jika rem tangan tersebut masih aktif, maka pasti akan sangat sulit dan terasa berat untuk berlari kencang.

Mendidik pasangan bisa dengan cara: menyediakan banyak bahan bacaan di dalam rumah, mencontohkan dengan perilaku kita sendiri. Misalnya, jika berharap pasangan mau berlemah lembut berbicara dengan anak, maka terlebih dahulu kita pun harus membiasakan diri untuk berbicara lemah lembut. Jika mengharapkan pasangan bisa menahan amarah apa pun kondisinya, maka kita pun harus terlebih dahulu mencontohkannya. Begitu seterusnya.Mengajak pasangan untuk sama-sama hadir pada acara diskusi atau pertemuan parenting, rajin ngobrol masalah anak dengan pasangan, dan seterusnya.

Tugas mendidik memang tidaklah mudah. Karena terlebih dahulu si pendidiklah yang harus mencontohkannya atau memulainya. Untuk itu, agar bisa mendidik, jadilah terdidik lebih dulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun