[caption id="attachment_366419" align="aligncenter" width="482" caption="http://www.portalkbr.com/teenvoice/sekitar-kita/__icsFiles/afieldfile/2013/08/22/Wikibully.jpg"][/caption]
Menyaksikan berita soal anak perempuan yang dipukuli oleh teman-teman sekelasnya di sebuah SD, saya jadi teringat dengan pengalaman anak saya yang juga pernah mengalami kejadian yang mirip dengan kasus ini kurang lebih beberapa bulan yang lau.
Ceritanya, waktu itu ia masih duduk di kelas 2 SD semester genap. Sejak semester sebelumnya ia sudah sering menceritakan tentang teman TK-nya yang sering mengganggunya. Sebenarnya mereka seangkatan, hanya saja anak saya telat sekolah setahun karena persyaratan untuk masuk pada SD tersebut minimal umur si anak 7 tahun. Karena waktu itu umurnya masih 6 tahun lebih, jadi dia nganggur dulu setahun dan belajar bersama saya di rumah. Si anak pengganggu duduk di kelas 3, sementara anak saya masih kelas 2 saat itu.
Entah karena merasa setingkat lebih tinggi dari anak saya, temannya ini kemudian mulai melancarkan banyak gangguan. Sebenarnya bukan hanya anak saya yang jadi korban. Tapi anak-anak yang berada di bawah level kelasnya semua jadi sasaran gangguannya. Macam-macam ulahnya. Seperti memaksa minta uang, meminta bekal, atau mengambil alat tulis anak lain tanpa ijin. Awalnya saya masih mendiamkan, dan menganggap hal seperti ini biasa terjadi antar anak-anak. Tak usahlah orang tua turut campur.
Sayangnya ia berdampak pada perilaku anak saya. Ia mulai sering ketakutan kalau harus ke sekolah sendiri, padahal sebelumnya ia biasa diantar “bentor” langganan. Dari air mukanya mulai sering nampak aura ketakutannya. Pada saat-saat awal kejadian saya masih mencoba menerapkan “metode mendengar aktif” yang saya tahu bisa efektif mengatasi setiap masalah anak. Namun rupanya ketakutannya tersebut tak bisa dia atasi sendiri. Karena kasusnya mulai melibatkan fisik anak. (Badan si pengganggu lebih besar dari anak saya). Meski sempat memunculkan efek berani pada hari-hari selanjutnya, namun tetap mencapai klimaksnya pada suatu hari di penghujung akhir tahun ajaran ia di kelas 2.
Ia pulang ke rumah dengan wajah yang penuh dengan bekas coreng-moreng. Saya dengan ekspresi kaget langsung bertanya: kenapa bisa mukanya seperti ini? Sebenarnya ia kelihatan enggan menceritakan kejadiannya, tapi karena saya terus mendesak, akhirnya ia cerita kalau tadi di sekolah, temannya (si pengganggu) mendorong sambil menekan badannya ke dinding, lalu dengan menggunakan serbuk bekas rautan pensil, ia mencoreng muka anak saya. Ia tak berani melawan karena saat itu si penganggu melakukannya bersama teman-temannya.
Ikut ke sekolah
Keesokan harinya, saya sudah siap-siap untuk ikut ke sekolahnya, ingin bertemu si pembully. Saya sempat berpikir, mungkin tindakan saya salah. Tapi demi keamanan dan kenyamanan anak bersekolah, maka saya pun tetap melanjutkan rencana semula.
Berangkatlah kami berdua ke sekolahnya. Sesampai di halaman sekolah, saya celingak-celinguk berusaha menebak-nebak yang mana anak yang selama ini suka mengganggu ketenteraman anak lain. Saya mengira si anak bertubuh gempal agak hitam yang sedang mengejar temannya, ternyata bukan. Tak lama, muncul anak yang bertubuh tinggi besar, ternyata bukan juga. Akhirnya sambil menunggu jam 1 siang, waktu anak-anak masuk belajar, saya menemui wali kelas si anak. Namanya, sebut saja Andi. Saya berbicara perihal masalah yang menimpa anak saya selama ini. Sang guru kelihatan terkejut, tapi segera mampu menetralisir keadaan. Ia juga kelihatan terburu-buru karena sebentar lagi akan datang pengawas ke sekolah mereka. Jadi ia mempersilakan saya untuk menunggu si anak datang dan berbicara langsung dengannya.
Baiklah, saya pun menunggu-nunggu dengan agak tidak sabar kemunculan si anak. Sembari saya berbincang-bincang dengan beberapa teman kelasnya soal kelakuan anak ini. Ternyata ia memang ‘trouble maker’. Ramailah teman-temannya bercerita. Ada yang suka dimintai uang, bekal, atau kadang mengancam anak-anak perempuan di kelasnya, dan banyak lagi jenis kenakalannya yang lain. Semangat sekali mereka bercerita.
Tak lama kemudian, akhirnya ia muncul juga. Tanpa basa-basi lagi, saya langsung mendatangi si anak. “Kamu yang namanya Andi? Kenapa sering mengganggu Javid (anak saya)? Dia itu kan temanmu sewaktu TK?” Saya terus mencecar dia dengan pertanyaan-pertanyaan. Nampak sekali dia kaget. Dia hanya bisa terdiam sambil matanya menatap tak berdaya. “Kalau kamu masih terus mengganggu Javid, saya akan laporkan ke orang tuamu. (pura-pura kenal dengan orang tuanya). Bahkan teman-temanmu yang lain pun tidak boleh lagi kau ganggu. Awas ya.....!” Teman-temannya mulai berkerumun ikut memperhatikan insiden tersebut.
Saya sebenarnya tipe orang tua yang agak pendiam, tak mau ikut campur dengan urusan anak di sekolah. Tapi karena masalah ini menurut saya agak serius, dan guru tak mampu menindak siswa yang berbuat onar dan mem-bully anak-anak lain, maka saya merasa harus turun tangan, sebelum kasus ini semakin parah, dan si anak semakin leluasa meneror teman-temannya yang lain.
Dalam perjalanan menuju gerbang sekolah, saya sempat berpapasan dengan seorang guru. Dia menanyakan apa yang terjadi. Saya cerita singkat soal ini. Setelah itu saya lihat beliau berjalan menuju kelas si anak. Entah apa yang ia sampaikan kepada si Andi dan teman-temannya. Sebenarnya saya agak khawatir, si Andi akan membalas dendam kepada Javid. Tapi bersyukur karena keesokan harinya, dan hari-hari selanjutnya ia sudah tak pernah lagi mengganggu Javid. Hmmm......manjur juga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H