[caption caption="https://lh4.ggpht.com/unXJnhZXrFC_IGVbFnTgnEEmrCS13mCZ2NxpDBFvNQ-rsh_nvLuFDDzNWS1UGTnYe0zW=h900"]Suatu sore saat saya selesai mengajar mengaji anak-anak di masjid seperti biasa, tiba-tiba dari arah sekolah (gedung sekolah berhadapan dengan masjid) seorang ibu muda melambaikan tangannya. Saya lalu menghampirinya dan terlibat obrolan kecil soal keinginannya untuk mencarikan guru privat anaknya yang berumur 6 tahun yang saat ini duduk di kelas 1 SD. Ada sebuah tempat yang cukup terkenal di daerah kami, hanya sayang lokasinya masih termasuk jauh untuk si anak yang harus bolak-balik dengan berjalan kaki. Dengan sangat berharap ia meminta saya untuk membuka les membaca di rumah agar anaknya tidak perlu repot jauh-jauh ke tempat les tersebut. Kebetulan rumah kami letaknya cukup berdekatan.
Saat itu saya tidak langsung menyanggupi. Mengingat waktu yang sudah cukup tersita dengan mengajar pagi dan sore di masjid, belum lagi mengurusi administrasi toko setiap hari. Ibu ini bercerita tentang usahanya yang sudah masksimal mengajar anaknya membaca. Saya tanya ke dia, “seperti apa usaha yang sudah ibu lakukan?” Maka mengalirlah ceritanya, berisi penggambaran bagaimana cara dia mengajar si anak membaca.
“Saya orangnya keras, bu. Pertama-tama saya ajarkan untuk mengenal abjad a, b, c, dan seterusnya. Kalau berurutan, anaknya masih bisa mengenali. Kalau saya sudah mulai acak hurufnya atau saya gandengkan huruf b dengan a, atau c dengan i, ia tidak bisa baca.” Saya manggut-manggut mendengar penjelasannya. Saya teringat dengan anak bungsu saya yang sekarang sudah kelas 4 SD, di mana dengan metode yang berbeda ia berhasil pandai membaca hanya dalam tempo 3 minggu saja pada usia 4 tahun. Saya masih ingat buku yang saya gunakan saat itu. Judulnya “Revolusi Belajar Membaca Belajar Membaca tanpa Mengeja buku 1 dan 2”, yang ditulis oleh Intan Noviana.
Hasil usaha yang spektakuler tersebut akhirnya selalu menjadi bahan cerita di mana pun saya menemui guru atau orangtua-orangtua yang kesulitan dalam mengajar anak mereka membaca.
Si ibu melanjutkan lagi, “Kalau sudah hilang kesabaran, saya pasti marah-marah ke dia. Pernah lagi saya ikat kakinya saat mengajarinya membaca.”
“Kenapa sampai diikat bu?”, setengah tak percaya saya terus memancingnya untuk bercerita.
“Iya, saya terpaksa ikat, karena kalau tidak, dia suka sekali jalan ke sana kemari menginggalkan tempat duduknya. Bagaimana mau pintar kalau belajar caranya seperti itu?” Si ibu terus nyerocos menceritakan usahanya mengajar si anak membaca. Cerita terbaru yang saya dengar malah si anak pernah digantung terbalik gara-gara tak kunjung pintar membaca.
Sepenggal cerita di atas terus terbayang-bayang dalam pikiranku berhari-hari kemudian. Saya menjadi sangat prihatin dengan kondisi si anak. Oh iya namanya Nailah. Ia pada saat yang sama juga belajar mengaji di masjid. Beberapa kali menghadapinya, saya sering menatapnya dalam-dalam. Menatap jauh ke dalam telaga matanya yang kecil. Ingin mengorek dan memastikan bahwa anak ini punya potensi yang besar dalam belajar. Seperti umumnya anak-anak yang lain. Alhasil penilaian saya tidak meleset. Nailah termasuk anak yang rajin dan cerdas. Meski kadang nampak pancaran tak berdaya dari sorot matanya.
Kira-kira 2 minggu sejak pembicaraan kami saat itu, saya memutuskan untuk menerima permohonan belajar membaca untuk Nailah. Ditambah permintaan beberapa orangtua lain yang benar-benar sudah kewalahan dengan anaknya yang sudah duduk di kelas 3 SD tapi belum lancar membaca. Ada juga yang anak laki-laki kelas 1 SD yang lebih tertarik bermain ke warnet daripada duduk belajar membaca di rumahnya. Si ibu mengaku setiap hari mengomeli si anak agar mau belajar membaca. Tapi anak memasukkannya ke telinga kanan dan langsung mengeluarkannya kembali lewat telinga kiri.
Membaca asyik
Seperti sudah banyak teman Kompasianer ataupun blogger lain yang menulis tentang tema ini, namun tetap juga akan selalu bermanfaat jika ia dibahas dalam tulisan maupun obrolan. Karena siapa tahu ada di antara mereka yang membutuhkan yang membacanya kemudian tergerak untuk melakukan perubahan dalam proses mengajarnya. Jika sudah baik tinggal dilanjutkan, jika belum semoga tulisan sederhana semacam ini mampu mengubahnya.