Mohon tunggu...
Mauliah Mulkin
Mauliah Mulkin Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

"Buku adalah sahabat, guru, dan mentor". Ibu rumah tangga dengan empat anak, mengelola toko buku, konsultan, penulis, dan praktisi parenting. Saat ini bermukim di Makassar. Email: uli.mulkin@gmail.com Facebook: https://www.facebook.com/mauliah.mulkin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Anakku yang Menikmati MOS

27 Juli 2015   09:05 Diperbarui: 27 Juli 2015   09:05 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MOS (Masa Orientasi Siswa) bagi sebagian orang umumnya menakutkan dan menciutkan nyali. Tapi tidak bagi anakku yang nomor tiga, yang pada Senin hari ini  akan memulai belajar di sekolahnya yang baru, di SMU. Sekolah lain yang setingkat SMP atau SMU rata-rata baru mulai MOSnya besok, Senin, tanggal 27 Juli. Tapi berbeda dengan sekolahnya yang justru kegiatan tersebut sudah dimulai pada pertengahan bulan Ramadhan  lalu. Nah, bisa dibayangkan bagaimana suasananya diplonco saat dalam kondisi berpuasa.

Tapi ada hal menarik yang ingin saya ceritakan soal kegiatan MOSnya waktu itu. Beberapa hari sebelum hari H nya, ia sudah sering menyinggung soal kegiatan tersebut. Sampai kemudian menjelang hari dimulainya MOS, saya iseng-iseng tanya ke dia. Dengan perasaan yakin ia akan punya pendapat yang sama dengan saya atau orangtua-orangtua kebanyakan. 

Saya bilang, “Kenapa sih MOS masih tetap diadakan? Coba itu lihat di luar negeri sana, model perploncoannya jauh beda dengan kita di Indonesia.” Waktu itu pas habis baca artikelnya pak Rhenald Kasali tentang gambaran MOS di Indonesia dengan perbandingan beberapa negara maju. “Anak-anak kan bisa dilatih percaya diri dengan cara-cara yang lebih mendidik dan membangun.” Lanjut saya ketika itu.

Eh, sambil senyum-senyum dia justru jawab begini, “Ah, tapi enak juga sih sebenarnya masa MOS itu. Malah inilah momen yang saya tunggu-tunggu, Umi.” Nyaris tak yakin dengan pendengaran sendiri, saya membalik badan untuk melihat mukanya dengan lebih jelas. Sambil terus mempersiapkan pernak-pernik dan atribut yang ia butuhkan, ia menambahkan. “Diplonco menjelang masuk SMU itu banyak sukanya daripada dukanya. Kalau tidak ada MOS, tidak seru.” Ini anak tahu dari mana kalau MOS nya nanti akan seperti yang ia bayangkan. Mungkin juga ia dapat gambaran dari sekolahnya dulu waktu masuk SMP. Kebetulan SMP dan SMU nya masih berada dalam satu payung.

Hari yang ia nanti-nantikan pun tiba. Sore sebelum malam ia sudah meminta tolong ke saya untuk membantunya mempersiapkan segala yang ia butuhkan, mulai dari pasang pita yang kecil-kecil yang ditempel di jilbab sesuai dengan jumlah tanggal lahir, sampai memotong-motong kardus bekas untuk dijadikan papan nama. Duh, ini malah orangtua yang ikut ribet dan serasa setengah diplonco. Pasang pitanya itu yang lama, karena tanggal lahirnya 26, jadi pita yang dipasang pun mesti sejumlah itu. Enak dong temannya yang bertanggal lahir 1,2, atau 3. Yah, sudah harus seperti itu. Anak tidak boleh berkelit karena ada akte yang harus diperlihatkan ke senior nantinya.

Mungkin karena memang dasarnya dia berkepribadian sanguine yang senang bergaul, suka dengan acara kumpul-kumpul dengan teman baru maupun lama, baginya kegiatan semacam ini menjadi sesuatu yang menyenangkan. Jadi meskipun dalam kondisi lapar dan capek dia tetap semangat dan menikmati tiga hari masa perploncoan itu.

Setiap hari sepulang sekolah pada menjelang sore, ia akan menyempatkan untuk bercerita pengalamannya hari itu. Tentang teman bermain teaternya dua tahun lalu yang sekarang malah sudah jadi kakak kelasnya, tentang kelompok/gugusnya yang kena hukuman gara-gara salah ukuran membuat papan nama. Dan  beberapa ceritanya lagi yang lain.

Setelah empat hari masa perploncoan, mereka mengadakan buka bersama di sekolah. Memang hari-hari yang mereka lewati nyaris tak berasa meskipun MOS berlangsung pada bulan  Ramadhan. Dan pihak sekolah nampaknya cukup paham dengan kondisi anak-anak yang sementara berpuasa. Tapi pada akhir hari keempat, selesai MOS, sepulang ke rumah, ia pun sukses tidur berjam-jam seperti orang pingsan. Satu hal yang penting dan kami syukuri, tak ada cerita kekerasan selama MOS di sekolahnya.

Moral dari cerita ini adalah bahwa sebuah pandangan, anggapan, atau asumsi tentang sesuatu tidak selamanya benar dan berlaku umum. Tergantung bagaimana konteksnya atau prakteknya di lapangan. Ada baiknya kita sebagai pihak orang dewasa bertanya terlebih dahulu tentang sebuah gagasan yang akan diterapkan kepada anak atau siswa. Mungkin saja dugaan tersebut salah, mungkin juga benar. Tapi kita tak akan tahu jika tidak bertanya.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun